Hal itu disampaikan Manager Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih, Jhon Ketut Purna, pada Jumat, (5/12/2025).
"Sebuah pukulan besar bagi pariwisata Bali dan citra budaya Indonesia di mata internasional," ungkap Jhon.
"Kami berharap pemerintah hadir menata Jatiluwih untuk menjaga warisan budaya, dan membangun ekonomi rakyat tanpa merusak alam."
Subak Jatiluwih berbeda dengan subak lainnya di Bali, baik dari sisi tradisi, adat, maupun teraseringnya.
Keseluruhannya ada 15 prosesi yang harus dilakukan dalam setiap musim tanam.
Cara tanam seperti itu sudah diterapkan sejak lebih dari 500 tahun yang lalu.
Tidak ada warga yang berani melanggar aturan (awig-awig) yang sudah diterapkan.
Subak Jatiluwih memiliki luas 303 hektare dan yang efektif ditanami padi seluas 227 hektare.
Subak merupakan organisasi masyarakat petani di Bali yang mengatur tentang sistem tradisional pengairan atau irigasi sawah.
Diyakini keberadaan subak ini merupakan manifestasi dari konsep Tri Hita Karana. Pembagian air dilakukan secara adil dan merata.
Apabila terjadi perubahan bentang alam dan Subak Jatiluwih semakin terdesak oleh bangunan komersial, disinyalir sedikitnya ada 3.000 jiwa, mulai dari petani, pelaku UMKM, hingga generasi mendatang yang akan menerima dampaknya.
Diberitakan sebelumnya, Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali sempat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Jatiluwih.
Ditemukan setidaknya ada 13 bangunan yang diduga melanggar aturan.
Pansus TRAP DPRD Provinsi Bali, memperketat pengawasan bangunan ilegal di kawasan Jatiluwih, Kabupaten Tabanan.
Diketahui bahwa sejak tahun 2012, Jatiluwih diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia.
Selain itu, pada tahun 2024, mendapat predikat sebagai Desa Terbaik Dunia versi United Nation (UN) Tourism.
Menurut Ketua Pansus TRAP DPRD Provinsi Bali, I Made Supartha, pengawasan ini dilakukan sebab telah terjadi penyempitan lahan sawah akibat alih fungsi lahan menjadi bangunan beton.
Pansus TRAP pun sebelumnya telah memutuskan untuk menertibkan 13 bangunan di sekitar kawasan Jatiluwih yang diduga melanggar aturan.
Walaupun keputusan itu sempat menuai protes dari pemilik bangunan.
Pansus TRAP DPRD Bali menekankan tindakan yang dilakukan bukan untuk menghambat pembangunan.
Ini untuk memastikan penataan ruang berjalan benar, menjaga warisan budaya, dan membangun ekonomi rakyat tanpa merusak alam.
“Wisatawan datang untuk melihat hamparan sawah, subak, dan budaya Bali. Bukan beton," jelas Supartha dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/12/2025).
https://denpasar.kompas.com/read/2025/12/05/213905978/status-jatiluwih-bali-sebagai-warisan-budaya-dunia-berpotensi-dicabut-apa