Salin Artikel

Balingkang, Akulturasi Tionghoa di Bali, Saat Sang Raja Jatuh Cinta Pada Putri dari China

Desa Pinggan berada di ketinggian 1.300 mdpl dengan belatar belakang Gunung Batur dan Gunung Penulisan.

Bocah-bocah di Desa Pinggan bertipikal muka bulat, mata sipit seperti keturunan Tionghoa namun berkulit coklat sawo matang.

Desa Pinggan bertetangga dengan beberapa desa yang namanya mirip dengan nama Tionghoa yakni Desa Songan dan Desa Lampu.

Songan konon berasal dari kata Song- Ahn dan Lampu berasal dari marga Lam dan Pho.

Beberapa prasasti menyebut jika pada abad ke-12, pendatang Tiongkok masuk ke Bali melalui Buleleng (Singajara), Tejakula.

Mereka kemudian mengarah ke selatan yakni ke Gunung Penulisan hingga sampai di daerah Gunung Batur. Lalu mereka tinggal di beberapa desa Bali kuno yang disebut Songan dan Pinggan.

Di wilayah Pinggan itu lah dibangun Pura Dalem Balingkang yang bersejarah sebagai simbol akulturasi Tionghoa di Bali.

Pura Dalem Balingkan memiliki ornamen dan beberapa interiornya berciri Tionghoa seperti dominasi warna merah dan kuning yang merupakan warna khas kelenteng atau wihara.

Jaya Pangus disebut sebagai keturunan penguasa terkenal Airlangga dan masuk dinasti Warmadewa.

Di bawah kepemimpinan Jaya Pangus, agama Hindu berkembang pesat di Bali.

Dikisahkan banyak pendatang yang datang dari wilayah utara. Salah satunya adalah keluarga pedagang Tionghoa yang bermarga Kang.

Mereka datang ke Bali untuk berdagang. Keluarga tersebut memiliki seorang putri yang bernama Putri Kang Cing Wie.

Sang Raja Sri Jaya Pangus terpesona dengan Putri Kang. Mereka pun melangsungkan pernikahan.

Hubungan asmara antara sang raja dan putri dari China sempat ditentang oleh salah satu patih. Namun kerena cinta, sang raja tak mengindahkannya.

Saat pernikahan berlansung, sempat terjadi bencana alam di sekitar wilayah itu. Setelah sekian lama menikah, sang raja dan putri belum dikarunia anak.

Sang raja pun bersemedi di alas (hutan) batur untuk meminta petunjuk pada dewa agar ia segera mendapatkan keturunan.

Karena kecantikan Dewi Danu, Jaya Pangus pun menikahinya hingga memiliki seorang anak laki-laki.

Sementara itu di Pinggan, Putri Kang terus menunggu kedatangan suaminya. Lalu ia pergi menyusul ke Batur dan betapa terkejurnya saat mengetahui suaminya menikah dan memiliki seorang anak.

Dewi Danu yang merasa terancam, langsung menyerang Putri Kang sehingga perempuan itu terluka.

Jaya Pangus tidak tega melihat istri pertama yang telah ia tinggalkan dan segera menghampirinya untuk menolongnya.

Melihat keributan tersebut, Bhatari Batur, ibu dari Dewi Danu marah besar.

Sri Jaya Pangus dan Putri Kang dimusnahkan. Namun atas permintaan penduduk, mereka diwujudkan kembali dalam bentuk patung.

Kelak dikemudian hari, pasangan patung tersebut dikenal dengan nama Barong Landung sang penolak bala. Sosok pasangan Barong Landung akan mucul saat piodalan dan kesenian gambuh.

Kemudian dibangunlah Pura Dalem Balingkang yang merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat. Nama Balingkang sendiri diyakini berasal dari nama Bali, Ing, dan Kang. Namun ada juga yang menyebut beraal dari nama Keraton Kuta Dalem

Di Pura Dalem Balingkang juga dibangun Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar yang diambil dari nama Bali orang tua Putri Kang.

Bangunan suci tersebut dibangun untuk memuliakan Putri Kang Cing Wie. Sedangkan palinggih, adalah tempat bersemayam para dewa.

Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar berbentuk gedong dan beratap rendah dengan ornamen khas Tionghoa. Berbeda dengan palinggih kebanyakan di Bali.

Selain di wilayah Bali Aga, ada beberapa komunitas Tionghoa-Bali yang menunjukkan tanda benderang tentang akulturasi Bali dan Tionghoa.

Mereka bisa dijumpai di Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Gumicik- Sukawati, Blahbatuh-Gianyar, Renon dan Sanur, serta Menanga.

Umumnya komunitas Tionghoa-Bali bermukim di dekat dan bekerja di pasar tradisional sebagai pedagang dan hidup dengan damai dengan penduduk lokal.

Komunitas Tionghoa di Bali sebagian terasimiliasi dengan baik dengan memakai nama Bali, yaitu Putu, Made, Nyoman, dan Ketut.

Mereka juga memakai bahasa Bali sebagai bahasa ibu dan bukan bahasa Tionghoa.

Di Pabean, Sangsit (Buleleng), Pesanggaran (Denpasar), Abiansemal (Badung), tempat ibadah umat Khonghucu berdampingan dengan pura.

Uang kepeng pun kini masih dipakai untuk kelengkapan upacara adat.

https://denpasar.kompas.com/read/2021/03/14/080800278/balingkang-akulturasi-tionghoa-di-bali-saat-sang-raja-jatuh-cinta-pada

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke