Salin Artikel

Kejagung Usut Laporan Dugaan Mafia Tanah di Kubutambahan Buleleng

Kubutambahan merupakan lokasi rencana pembangunan Bandara Bali Utara yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN).

Jaksa dari Kejagung memeriksa sejumlah orang di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng pada Rabu (9/2/2022).

Humas sekaligus Kasi Intel Kejari Buleleng Anak Agung Ngurah Jayalantara membenarkan, jaksa dari Kejagung meminta keterangan sejumlah pihak terkait laporan dugaan mafia tanah itu.

Namun, pihaknya tidak bisa menyampaikan lebih lanjut terkait pemeriksaan tersebut. Sebab, penanganannya ada pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejagung.

"Terkait substansi pemeriksaannya saya tidak bisa sampaikan. Karena ranah penanganannya ada di Kejaksaan Agung. Pihak Kejaksaan Agung hanya meminjam tempat di Kejari Buleleng," kata Jayalantara di Kejari Buleleng, Rabu.

Sejumlah pihak yang diminati keterangan terkait dugaan mafia tanah antara lain Kepala Desa (Dinas) Kubutambahan Gede Pariadnyana dan beberapa warga yang tergabung dalam Komite Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada) Kubutambahan.

Ketua Kompada Ketut Ngurah Mahkota mengatakan, lahan milik Desa Adat Kubutambahan seluas 370 hektare disewakan kepada PT PP dan diperpanjang pada 2012.

Dalam perjanjian sewa itu, ada klausul perpanjangan waktu selama 30 tahun, 60 tahun, 90 tahun, dan sampai waktu yang tidak terbatas.

Perjanjian itu yang membuat Kompada keberatan. Sebab, keputusan itu tidak diambil berdasarkan musyawarah dan persetujuan masyarakat.

"Kami tidak pernah menandatangani persetujuan perpanjangan sewa itu. Kami menduga tanda tangan yang digunakan itu adalah tanda tangan dari daftar hadir rapat yang biasa dilakukan tiap bulan," katan Mahkota.

Sejak lahan desa adat disewakan, PT PP sama sekali tidak melakukan pembangunan di atas lahan tersebut. Sehingga pihaknya menilai PT PP hanya membutuhkan SHGB, yang kemudian sertifikatnya dijaminkan ke bank senilai Rp 1,2 triliun.


Sementara itu, Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Warkadea menilai, gagalnya pembangunan bandara di atas lahan milik Desa Adat Kubutambahan, terjadi bukan karena adanya mafia tanah.

Melainkan karena belum adanya titik temu dari mediasi yang dilakukan pemerintah dengan pihak PT PP.

Dengan adanya rencana pembangunan bandara Bali Utara, pihaknya tidak ingin lahan duwen pura berubah status menjadi milik pemerintah.

Pihaknya telah melaksanakan rapat desa yang dihadiri oleh Tim Ahli Gubernur Bali dan Wakil Bupati beberapa waktu lalu.

Dalam rapat itu, pemerintah desa sepakat menyerahkan pemanfaatan lahan, agar digunakan sebagai lokasi pembangunan bandara.

Pihaknya juga menyerahkan kuasa kepada Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng untuk memediasi pihak PT PP, mengingat lahan tersebut sudah terlanjur disewakan.

Jika terjadi gugatan, maka Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus memfasilitasi dan memberikan dukungan kepada Desa Adat Kubutambahan.

Dalam perjalanan, rencana pembangunan bandara kemudian dinyatakan masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Dalam PSN itu, ada dua opsi yang diberikan, pertama lahan desa adat akan diganti dengan uang senilai Rp 50 miliar, dan yang kedua diganti dengan tanah yang lain (tukar guling).

Menurutnya, dengan dua opsi tersebut dinilai jika lahan duwen pura akan berubah status menjadi tanah negara.

"Kami menolak, karena statusnya dilepas jadi tanah negara," tegasnya.

"Karena kami berpendapat merubah status tanah duwen pura itu sebagai kutukan. Kami harus mempertanggung jawabkan lahan duwen pura (desa adat). Kalau berubah status, nilai sejarah akan hilang. Dari pada hilang, lebih baik tidak ada bandara," imbuh dia.

https://denpasar.kompas.com/read/2022/02/09/205519978/kejagung-usut-laporan-dugaan-mafia-tanah-di-kubutambahan-buleleng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke