Salin Artikel

Cerita I Gede Edi Budiana, Perajin Alat Musik Tradisional Rindik, Terima Pesanan hingga Australia

Pemuda ini memproduksi Rindik di workshop di kediamannya di Desa Alasangker, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Saat ditemui, Edi terlihat sibuk dengan aktivitasnya membuat Rindik, pada Jumat (18/2/2022) pagi. Kedua tangannya sudah terlatih memilah bambu. Satu persatu bambu dipotong, diperhalus dan dirapikan.

Edi sudah belasan tahun menggeluti kesenian Rindik. Tak heran, hal ini memberikan pengalaman serta mengasah kemampuan dalam membuat alat musik tradisional ini.

Alat musik Rindik yang dibuat Edi berjumlah 11 hingga 13 buah bambu. Bambu ditata dengan rapi dan terdapat celah di antara potongan-potongan tersebut.

Setiap potongan bambu memiliki ukuran yang berbeda dengan nada tangga nada yang berbeda pula. Setelah selesai ditata dan dicat, Rindik dites bunyinya dengan cara dipukul.

Edi menceritakan, untuk mengerjakan sebuah Rindik lengkap, biasanya membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga minggu. Lama proses pengerjaan menyesuaikan tingkat kesulitan atau hiasan tambahan yang akan digunakan pada Rindik.

Bambu yang dipakai terlebih dahulu dicek dengan digetok untuk memastikan suaranya bagus. Ada tiga jenis bambu yang sering digunakan yakni santong, hitam, dan tabah.

"Yang paling sering digunakan bambu hitam. Bambu hitam didatangkan dari Jawa, karena di sini hampir sulit dicari. Untuk bambu santong dan tabah, dipesan dari wilayah Buleleng," ucap Edi.

Ukuran Rindik yang dibuat Edi, ada tiga jenis, yakni satu meter, 1,05 meter, dan yang paling besar 1,10 meter.

Harga Rindik yang dibuat Edi pun bervariasi. Mulai dari Rp 900.000 hingga Rp 5 juta. Selain menerima pesanan dari wilayah Bali, Rindik buatan Edi juga dipesan hingga mancanegara.

Beberapa waktu lalu, Edi menerima pesanan Rindik untuk kegiatan pertunjukan seni budaya Bali di Singapura.

"Sebelum pandemi juga ada yang pesan dari Australia, untuk pertunjukan seni di sana," ungkapnya.

Pemesan Rindik datang karena informasi dari mulai mulut ke mulut. Edi kini juga memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produknya.


Rata-rata dalam sebulan, Edi bisa menerima pesanan membuat tujuh Rindik.

"Kalau masa pademi ini berpengaruh sekali, pesanan turun. Tapi saya tetap bersyukur masih ada yang memesan," imbuh pria kelahiran 27 Maret 1996 ini.

Edi mengaku, keterampilan membuat Rindik dia pelajari secara otodidak. Ia telah menggemari alat musik itu sejak masih duduk di bangku SD. Kegemarannya itu muncul setelah dia mendengar gamelan Rindik dari kaset radio.

"Saya lebih menyukai memainkan Rindik ketimbang gamelan lainnya, karena bisa dimainkan sendiri tidak perlu tim. Serta suaranya yang lembut dan nyaman tidak bising," katanya.

Melihat kegemarannya itu, orang tua Edi lantas membelikan Rindik. Setelah mepelajari rindik secara otodidak, Edi pun terus mendalami keterampilan bermain Rindik.

Sehingga, pada saat duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), ia mulai mencoba membuat rindik dengan bambu bekas. Keisengan itu terus berlanjut hingga dia SMA dan kuliah.

Di sela kesibukannya kuliah di STIKOM Bali, Edi mulai membuat Rindik untuk dijual. Kemudian, pada 2019, Edi membuka usaha pembuatan Rindik yang diberi nama 'De Percussion'.

Dari kegemarannya itu, Edi juga berinovasi membuat Rindik yang sebelumnya hanya memiliki lima nada, ditambah menjadi tujuh nada.

Rindik dengan tujuh nada itu tercipta, berawal dari kebosanannya terhadap Rindik umum yang hanya memiliki lima nada.

Ia akhirnya terinspirasi membuat rindik dengan tujuh nada, seperti gamelan yang sering ada di Bali selatan.

https://denpasar.kompas.com/read/2022/02/18/101200978/cerita-i-gede-edi-budiana-perajin-alat-musik-tradisional-rindik-terima

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com