Salin Artikel

Pura Besakih di Bali: Sejarah, Fungsi, dan Tahun Didirikan

KOMPAS.com - Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Pura ini terletak di lereng sebelah barat daya Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali.

Letak Pura Besakih sengaja dipilih di desa yang dianggap suci karena letaknya yang tinggi, yang disebut Hulundang Basukih. Nama tersebut kemudian menjadi nama Desa Besakih.

Nama besakih diambil dari Bahasa Sansekerta, yaitu wasuki. Dalam, bahasa Jawa Kuno adalah basuki yang berarti selamat.

Pura Besakih sebagai tempat sembahyang umat Hindu. Lokasinya yang strategis dengan pemandangan alam menjadikan tempat ini juga sebagai tempat wisata.

Nama Besakih juga didasari oleh mitologi Naga basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.

Sejarah Pura Besakih

Dalam karya ilmiah berjudul Pura Besakih: Di antara Legenda dan Sejarah Penguasa Bali, oleh IDG Windhu Sancaya berdasarkan buku berjudul Pura Besakih: Pura Agama, dan Masyarakat Bali, karya David J. Stuart Fox, ada beberapa sumber terkait pendirian Pura Besakih yang masih diragukan penulis namun dipercaya masyarakat.

Berdasarkan sumber-sumber tertulis dan cerita rakyat, Sri Kesari Warmadewa, pendiri dinasti Warmadewa yang menguasai Bali selama beberapa abad dipecaya sebagai pendiri pertama kompleks pura di Besakih.

Keraguan muncul dari aspek cerita Sri Wira Dalem Kesari (Sri Kesari Warmadewa) menunjukkan hubungan dengan dinasti Jaya pada abad ke 12, antara 1131 - 1200.

Dinasti yang dimaksud adalah Jayasakti, Ragajaya, Jayapangus, dan Ekajaya Lancana. Berdasarkan prasasti Sading, diperkirakan Sri Wira Dalem Kesari adalah nama lain Jayasakti yang memerintahkan Bali pada tahun 1131-1150.

Keberadaaan tokoh Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah juga terkait dengan cerita Besakih. Mpu Kuturan dihubungkan dengan Pura Peninjoan dan sebagai arsitek pembangunan Pura Besakih.

Nama Rsi Markandeyan yang dikisahkan dari Gunung Raung Jawa Timur dikaitkan dengan pendirian Pura Basukian. Legenda ini tidak ditemukan dalam teks maupun sumber lain.

Terkait Rsi Markandeya ditemukan berdasarkan koleksi E.Korn tahun 1932 yang bersumber dari cerita seorang pedanda di Lembah Gianyar. Sumber lain terkait Rsi Markandeya baru muncul 1930-an.

Sementara di kompleks Pura Besakih banyak peninggalan zaman megalitik, seperti menhir, tahta batu, maupun struktur teras pyramid. Peninggalan tersebut menunjukkan bahwa Pura besakih berasal dari zaman yang sangat tua, jauh sebelum adanya pengaruh agama Hindu.

Makna Bangunan Pura Besakih

Pura Besakih merupakan bangunan sebagai lambang pemersatu dalam kehidupan masyarakat Bali yang menganut agama Hindu.

Keberadaan fisik bangunan tidak sekedar tempat ibadah yang besar, tetapi juga keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung yang dianggap memiliki suatu kekuatan gaib yang harus disembah dan dilestarikan.

Kompleks Pura Besakih dibangun berdasarkan keseimbangan alam dalam konsep Tri Hita Karana. Dimana, penataan bangunan disesuaikan berdasarkan arah mata angin agar struktur bangunannya dapat mewakili alam sebagai simbolisme adanya keseimbangan.

Masing-masing arah mata angin disebut mandala dengan dewa penguasa yang disebut "Dewa Catur Lokapala". Mandala tengah sebagai porosnya, sehingga kelima mandala dimanifestasikan menjadi "Panca Dewata".

Struktur bangunan berdasarkan konsep arah mata angin adalah

Jarak Kota Denpasar ke Pura Besakih berjarak berkisar 25 km ke arah utara. Perjalanan menuju Pura Besakih melewati panorama Bukit Jambul yang juga menjadi obyek wisata dan daya tarik di Kabupaten Karangasem.

Sumber: etd.repository.ugm.ac.id, ojs.unud.ac.id, dan v2.karangasemkab.go.id

https://denpasar.kompas.com/read/2022/03/02/161919078/pura-besakih-di-bali-sejarah-fungsi-dan-tahun-didirikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke