Salin Artikel

Melihat Tradisi Megibung di Kampung Islam Denpasar, Diwariskan Secara Turun-temurun

Mereka tengah menggelar tradisi megibung atau makan bersama saat berbuka puasa saat Ramadhan 1443 Hijriah.

Tradisi yang diwariskan secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu ini digelar pada 10 hari pertama Ramadhan.

Warga mulai datang ke masjid pada sore hari sambil membawa berbagai jenis makanan, seperti nasi tumpeng, nasi uduk, ayam bakar, ayam betutu, dan urap.

Tak ketinggalan pula berbagai jenis es, kue, sambal serta berbagai jenis lauk pauk khas buka puasa warga setempat.

Dalam menjalankan tradisi ini, mereka membentuk kelompok yang terdiri dari enam sampai delapan orang. Mereka duduk bersila melingkari makanan beralaskan tampah yang dialas daun pisang. 

Megibung diikuti semua kalangan, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga orangtua. Tempat untuk menggelar tradisi megibung dibagi dua, kaum perempuan di lantai dua masjid dan laki-laki di teras.

Salah satu pemuda setempat, Aflin Ridom (18), mengaku sudah mengikuti tradisi megibung sejak kecil.

Ia dan teman-temannya tetap menjalankan tradisi ini untuk merawat rasa persaudaraan di antara mereka dan menjaga warisan leluhur.

"(Tujuan megibung) banyak lah ini keharmonisannya di sini sama keluarga-keluarga di sini, " katanya sambil menikmati sepotong paha ayam bakar, Selasa (12/4/2022).

Menurut Aflin, acara megibung kali terasa spesial karena dua tahun sebelumnya ditiadakan akibat pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemi Covid-19.

"Ini spesialnya bisa ramai lagi, kita bisa ngumpul lagi," katanya.

Sementara itu, Takmir Masjid Al-Muhajirin Kepaon Abdul Ghani menjelaskan, tradisi megibung merupakan budaya umat Hindu Bali yang diinkulturasi oleh muslim di Kampung Muslim Kepaon, yang merupakan salah satu kampung muslim tertua di Bali.

Tradisi ini mulai ditanamkan sejak masa kejayaan Kerajaan Badung yang menjadi pusat pemerintahan Puri Agung Pemecutan sekitar seabad yang lalu.

"Jadi awal mula adanya megibung ini dibawa kami oleh sahabat kami Puri Agung Pemecutan, jadi ini sebenarnya budaya Hindu," katanya.


Tak hanya megibung, jejak sejarah hubungan Puri Agung Pemecutan dengan warga Kampung Muslim Kepaon juga bisa dilihat pada tarian Rodat yang hanya dibawakan saat perayaan Hari Raya Idul Fitri.

"Kami juga ada pasukan perang yang ikut memenangkan peperangan antara Kerajaan Badung dan Kerajaan Mengwi (1891). Karena nggak ada perang, perang ini jadi tarian Rodat melambangkan seni budaya inkulturasi juga," katanya.

Abdul mengatakan, tradisi megibung bertujuan mempererat tali silaturahim bagi masyakarat, baik antara muslim maupun dengan umat agama lain yang sudah hidup harmonis sejak dahulu.

Selain itu, sebagai rasa syukur bahwa umat muslim sudah mengkhatamkan Alquran dari hari pertama puasa hingga hari ke-10.

"Maknanya kebersamaan, kerukunan, dan dakwah, bahwa Islam itu welcome untuk semuanya," katanya.

Abdul menambahkan, jemaah Masjid Al-Muhajirin Kepaon terdiri dari 700 kepala keluarga (KK) dan warga sebanyak 1700.

Sedangkan makanan yang disantap saat megibung ini dibawa warga yang terdiri dari pemaksan atau kelompok, yakni pemaksan kelod (selatan), pemaksan tengah, dan pemaksan kaja (utara).

Sebelum pandemi Covid-19, Abdul menyebut, tradisi megibung ini turut dihadiri oleh umat agama lain seperti Hindu, Kristen dan Katolik. Namun kali ini hanya dihadiri umat Islam wilayah Kepaon.

Meski demikian, Abdul tetap bersyukur karena tradisi megibung ini kembali digelar pada Ramadhan tahun ini, seiring kebijakan pelonggaran aktivitas masyarakat oleh pemerintah.

"Alhamdulillah, dua tahun kami tidak melaksanakan megibung ini tapi antusias masyarakat sangat luar biasa," katanya.

https://denpasar.kompas.com/read/2022/04/14/170725078/melihat-tradisi-megibung-di-kampung-islam-denpasar-diwariskan-secara-turun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke