Salin Artikel

Mengenal Gebug Ende, Tradisi Mohon Hujan dari Karangasem

KOMPAS.com - Tradisi gebug ende berasal dari Karangasem, Bali.

Tradisi Gebud ende atau dikenal juga gebug Seraya tumbuh dan berkembang di Desa Seraya, Kabupaten Karangasem. Untuk itulah, tradisi ini dikenal gebug Seraya.

Gebug ende juga dipercaya sebagai tradisi sakral masyarakat Desa Seraya untuk memohon hujan kepada Sang Pencipta.

Nilai sakral yang melekat pada tradisi ini menjadikan gebug ende jarang dipertunjukkan di depan umum, karena gebug ende merupakan ritual yang dikeramatkan.

Gebug ende merupakan tradisi warisan budaya tak benda.

Apakah Itu Tradisi Gebug Ende?

Tradisi gebug ende merupakan permainan rakyat. Dahulu, gebug ende adalah sebuah permainan tradisi yang dapat dilakukan oleh kaum laki-laki, baik dewasa atau anak-anak.

Sehingga gebug ende adalah permainan yang menjadi tradisi masyarakat Desa Seraya, dimana permainan dimainkan oleh dua orang laki-laki, baik dewasa atau anak-anak.

Para pemain membawa ende dan gebug untuk saling memukul dan menyerang.

Peralatan Tradisi Gebug Ende

Istilah gebug ende berasal dari gebug dan ende. Gebug artinya memukul dengan alat berupa rotan yang memiliki panjang sekitar 1,5 hingga 2 meter.

Sedangkan, ende adalah alat untuk menangkis yang dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam membentuk lingkaran.

Permainan gebug ende menggunakan rotan dan ende atau penangkis sebagai alat dalam permainan ini.

Tata Cara Tradisi Gebug Ende

Umumnya, ritual ini dilaksanakan pada musim kemarau dan dilakukan setelah pulang dari ladang, pada siang atau sore menjelang musim tanam.

Waktu pelaksanaannya pada sasih keempat menurut perhitungan bulan Bali, sekitar bulan Oktober hingga November.

Gebug ende erat kaitannya dengan ketangkasan, kemahiran memainkan rotan, dan kekuatan fisik masyarakat Desa Seraya dibalik kondisi geografis daerahnya yang kering.

Teknik yang dibutukan dalam permainan ini adalah memukul dan menangkis.

Sebelum permainan, masyarakat akan melakukan ritual sembahyang untuk memohon keselamatan pemain, kelancaran permainan, memberikan kemakmuran, dan memperoleh manfaaat (turun hujan) bagi masyarakat Seraya.

Gebug ende dapat dimainkan dimana saja sesuai kondisi dan tidak ada ketentuan luas area permainan. Permainan dapat menggunakan area seluas enam meter persegi.

Umumnya, masyarakat melakukan tradisi ini di lapangan atau halaman pura yang memiliki permukaan datar.

Lapangan sebagai area permainan akan diberi pembatas dengan tali atau pagar untuk menjaga keamanan pemain dan desakan dari penonton.

Permainan dimulai dengan pembukaan selamat datang kepada penonton dan pemain, di dalamnya terselip nasihat dan aturan main. Dimana, pemain diminta untuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportifitas.

Dua wasit yang disebut juru kembar/saya (baca: saye) bertindak sebagai pemimpin pertandingan. Tugasnya adalah mengawasi permainan.

Sebelum permainan dimulai akan dilakukan permainan pendahuluan oleh juru kembar, yang akan memperagakan gebug ende dan memberitahu uger-uger atau batasan yang harus ditaati pemain.

Permainan pendahuluan hanya berlangsung sebentar sebagai pemanasan untuk memberikan semangat dan rangsangan kepada para pemain.

Aturan permainan gubeg ende

Aturan permainan gubeg ende tergolong sederhana, yaitu:

  • Pemain hanya boleh memukul di atas pinggang sampai kepala. Pemain tidak boleh memukul di bawah pinggang sampai kaki.
  • Permainan dapat berakhir jika salah satu pemain terdesak.
  • Di tengah area permainan terdapat sebuah rotan yang digunakan sebagai garis batas untuk membagi lapangan menjadi dua bagian.
  • Umumnya permainan berlangsung singkat, yaitu sekitar 10 menit. Tidak ada pernyataan resmi dari wasit yang menentukan menang dan kalah karena hanya penonton yang dapat menilainya.

Biasanya pertandingan akan dimulai dengan pertandingan kelompok anak-anak, kemudian dilanjutkan dengan kelompok dewasa.

Para pemain tampil dengan penuh semangat dan tidak ada ketakutan dari semua pemaian. Rotan ditarikan dengan irigan sorakan penonton dan tetabuhan sehingga suasana semakin semarak.

Selama permainan akan diiringi dengan tetabuhan musik pengiring untuk menyemangati para pemain.

Dalam perkembangannya, gebug ende sering ditampilkan secara komersial, namun permainan tidak dapat direkayasa karena ada kepercayaan jika hal tersebut dilakukan akan membawa petaka.

Kostum Tradisi Gebug Ende

Kostum pemaian gebug ende sangat sederhana, yaitu bertelanjang dada (tanpa baju),ikat kepala (destar) warna merah merah adalah simbol keberanian), saput hitam putih (poleng), dan kain atau kemben

Permainan gebug ende diiringi dengan musik pengiring yang disebut Tabuh Bebondangan dari alat musik yang terdiri dari sepasang kendang, sepasang reong, ceng-ceng kecil (rincik), dan seruling.

Keunikan Tradisi Gebug Ende

Permaiann gebug ende menjadi trademark dari Kabupaten Karangasem.

Keunikannya digambarkan melalui keanekaragaman latar belakang budaya yang mencerminakan kekayaan budaya Indonesia, dalam hal ini heroisme.

Bagi masyarakat Desa Seraya, gebug ende adalah tardisi yang diwariskan secara turun temurun dengan tujuan memohon hujan kepada Sang Pencipta.

Gebug ende juga dipercaya sebagai yadnya (pengorbanan yang tulus ikhlas) sehingga jika darah semakin cepat menetes maka akan semakin cepat turun hujan.

Sumber:

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=381
http://tourism.karangasemkab.go.id/data/gebug-ende/

https://denpasar.kompas.com/read/2022/10/15/154049478/mengenal-gebug-ende-tradisi-mohon-hujan-dari-karangasem

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke