Salin Artikel

Mengenal Ngamuk-amukan, Tradisi Perang Api di Desa Adat Padang Bulia

KOMPAS.com - Desa Adat Padang Bulia di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng memiliki sebuah tradisi unik yaitu perang api yang dikenal dengan nama Ngamuk-amukan.

Tradisi Ngamuk-amukan atau Meamuk-amukan adalah perang api dengan menggunakan prakpak/danyuh (istilah setempat untuk daun kelapa kering) yang dibakar, untuk kemudian diadu oleh dua orang secara bersamaan.

Waktu pelaksanaan tradisi Ngamuk-amukan di Desa Adat Padang Bulia adalah pada waktu pengrupukan Tilem Kesanga yaitu satu hari sebelum Catur Brata Penyepian atau Hari Raya Nyepi.

Tradisi Ngamuk-amukan yang dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi bertujuan agar pelaksanaan Catur Brata Penyepian dapat berjalan dengan baik, tanpa membawa rasa dendam dan amarah dalam menyambut Tahun Baru Saka.

Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, tradisi Ngamuk-amukan umumnya dilaksanakan sore hari atau sandikala, selesai pelaksanaan upacara mecaru pada tingkat rumah.

Biasanya pengrupukan dilaksanakan dengan menyebar-nyebar nasi tawur, serta mengobori-obori rumah dan pekarangan dengan membakar danyuh.

Selain itu, kegiatan juga dilakukan dengan memukul beberapa benda (umumnya kentongan) sampai membuahkan nada ramai serta berkesan berisik.

Tingkatan ini dilaksanakan buat menyomia Buta Waktu dari lingkungan rumah, pekarangan, serta sekitar lingkungan.

Oleh warga Desa Padang Bulia, danyuh yang sudah selesai digunakan pada upacara mecaru atau mebuu-buu di masing-masing rumah akan dibawa keluar untuk pelaksanaan tradisi Ngamuk-amukan atau perang api.

Danyuh yang akan digunakan akan diikat menyerupai sapu, atau masyarakat setempat menyebutnya mapuput.

Dalam pelaksanaannya, tidak ada banten istimewa yang digunakan saat tradisi ini berjalan, karena sudah dirangkaikan dengan banten pecaruan atau mebuu-buu.

Sebelum acara berlangsung, ratusan warga akan keluar rumah dan berkumpul untuk menyaksikan tradisi ini.

Tradisi Ngamuk-amukan sendiri merupakan tradisi yang sakral dan dipercaya memiliki sifat magis karena danyuh yang dibakar dianggap sebagai cerminan simbol Dewa Agni.

Secara filosofis, danyuh yang tersulut api pada tradisi Ngamuk-amukan melambangkan amarah yang ada dari dalam diri manusia yang apinya jadi membesar kemudian mati dengan cepat.

Hal ini bermakna supaya manusia tidak menaruh amarah dendam yang lama, seperti danyuh yang dibakar tersebut.

Meski disebut dengan perang api, dalam pelaksanaan tradisi Ngamuk-amukan tidak ada yang menang maupun kalah.

Kedua orang yang melakukan tradisi ini pun sudah diyakinkan bahwa masing-masing tidak memiliki sentimen pribadi atau menaruh rasa dendam.

Selain itu, terdapat hal yang unik dari tradisi ini karena meski peserta tidak menggunakan alat pengamanan yang memadai namun tubuh mereka jarang sekali terluka walaupun terkena api.

Sumber:
disbud.bulelengkab.go.id -1
disbud.bulelengkab.go.id -2

https://denpasar.kompas.com/read/2022/10/16/163403278/mengenal-ngamuk-amukan-tradisi-perang-api-di-desa-adat-padang-bulia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke