Salin Artikel

Mengenal Ngerebong, Tradisi di Bali: Pengertian, Waktu Pelaksaan, dan Prosesi

KOMPAS.com - Ngerebong merupakan tradisi unik di Bali.

Hingga saat ini, Ngerebong merupakan salah satu tradisi yang masih dipegang teguh masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Kesiman, Denpasar.

Tradisi Ngerebong juga menjadi daya tarik wisatawan.

Ngerebong

Pengertian Ngerebong

Ngerebong memiliki arti berkumpul. Pada pelaksaan tradisi Ngerebong dipercaya bahwa para dewa sedang berkumpul.

Tradisi Ngerebong dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dunia. Tradisi ini juga telah dipatenkan sejak 1937.

Ngerebong termasuk upacara bhuta yadnya atau pacaruan, sehingga tujuannya adalah untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral.

Ritual tersebut demi memelihara keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya.

Ngerebong juga sebagai bentuk peringatan kejayaan pemimpin (raja) Kesiman pada era tahun 1860-an, sebagai pengendali politik Bali-Lombok.

Ngerebong menjadi upacara unik, sebab bukan sebagai bentuk upacara piodalan (peringatan hari lahir) dan tidak menggunakan upakara (persembahan) sebagai pelengkap upacara.

Waktu Pelaksanaan Ngerebong

Ngerebong dilaksanakan pada enam bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali, yakni setiap delapan hari setelah Hari Raya Kuningan, tepatnya pada hari Minggu/Redite Pon Wuku Medangsia.

Pusat pelaksanaan tradisi Ngerebong di Pura Agung Petilan, Kesiman, Denpasar.

Pura Agung Petilan merupakan pusat upacara besar keagamaan untuk masyarakat Desa Adat Kesiman.

Prosesi Ngerebong

Upacara Pangerebongan diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur.

Tujuan kedua upacara tersebut adalah untuk memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari dan Prasanak Pangerob.

Umumnya, para pengusung rangda dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur akan kerasukan.

Selanjutnya, semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan akan keluar dari Kori Agung, kemudian mengelilingi wantilan dengan cara prasawia sebanyak tiga kali.

Saat melakukan prasawia, para pepatih melakukan ngunying atau ngurek yang berarti melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris atau alat lainnya dalam kondisi kerasukan (trance).

Dalam kondisi tersebut tidak ada bagian tubuh yang terluka.

Setelah acara prasawia selesai, semua kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang kesurupan kembali seperti semula.

Acara selanjutnya adalah Maider Bhuwana Bhatara-Bhatari dan Prasanak Pengerob. 

Dimana, semua pengiringnya kembali mengelilingi watilan (tempat adu ayam) sebanyak tiga kali dengan cara pradaksina atau mengikuti arah jarum jam.

Setelah selesai, semua kembali ke jeroan pura.

Makna Prosesi Ngerebong

Upacara Ngerebong dicerminkan dengan sifat-sifat kekuatan yang bertentangan. Hal ini terlihat dari simbol-simbol yang mengandung makna mitologi di masyarakat.

Di antaranya, Barong sebagai simbol kebaikan dan Rangda sebagai simbol keburukan.

Prosesi prasawia bermakna meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksasaan.

Adapun prosesi pradaksina bermakna sebagai simbol memnguatkan Dewi Sampad, yakni kecenderungan sifat-sifat kedewaaan. 

Sumber:

warisanbudaya.kemdikbud.go.id dan www.kesimanpetilan.denpasarkota.go.id

https://denpasar.kompas.com/read/2023/01/23/224001378/mengenal-ngerebong-tradisi-di-bali-pengertian-waktu-pelaksaan-dan-prosesi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke