Salin Artikel

Gunung Agung, Gunung Api Tertinggi di Pulau Bali yang Disakralkan

KOMPAS.com - Gunung Agung adalah sebuah gunung api yang terletak di di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Ketinggian puncak Gunung Agung adalah sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang membuat Gunung Agung menjadi gunung api tertinggi di Pulau Bali.

Gunung Agung merupakan gunung api bertipe strato dengan kaldera serta beberapa parasit gunung api.

Morfologi parasit gunung api dari Gunung Agung terdapat pada lereng sebelah tenggara, yang membentuk kerucut-kerucut seperti salah satu diantaranya adalah Gunung Pawon (800 mdpl).

Sejarah Letusan Gunung Agung

Dilansir dari laman Badan Geologi, sejarah letusan Gunung Agung tercatat sejak tahun 1808 dengan lontaran abu dan batu apung dengan jumlah luar biasa, sementara pada tahun 1821 dikatakan terjadi erupsi normal.

Kemudian pada 1843 terjadi erupsi yang didahului oleh gempa bumi dengan material yang dimuntahkan yaitu abu, pasir, dan batu apung.

Selanjutnya dalam tahun 1908, 1915, dan 1917 di berbagai tempat di dasar kawah dan pematangnya tampak terjadi tembusan fumarola.

Letusan besar terjadi mulai tanggal 18 Februari 1963 dan berakhir pada tanggal 27 Januari 1964 dengan tipe erupsi bersifat magmatis.

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com, pada letusan Gunung Agung 17 Maret 1963 sekitar 1.600 orang dilaporkan meninggal dunia.

Sementara sejumlah sumber lain menyebut korban jiwa yang jatuh mencapai lebih dari 2.000 orang akibat letusan tersebut.

Tak hanya menimbulkan korban jiwa namun juga menghancurkan puluhan desa dalam radius sekitar 7 km.

Diberitakan Express, 29 Juni 2018, letusan Gunung Agung 1963 juga berdampak pada kondisi iklim yang dirasakan hingga ke seluruh Indonesia.

Letusan Gunung Agung 1963 adalah salah satu letusan gunung berapi pertama yang memiliki dampak iklim, dengan perkiraan penurunan suhu global bervariasi antara 0,1 derajat celcius hingga 0,4 celcius.

Pulau Bali juga diselimuti oleh abu tebal sementara aliran lahar menelan ratusan hektar tanaman padi, yang menyebabkan sebanyak 200.000 orang terancam kelaparan.

Gunung Agung yang Disakralkan

Bagi masyarakat Bali, Gunung Agung tidak hanya kenampakan alam biasa namun memiliki arti penting dalam kehidupan religi masyarakat Bali.

Dilansir dari laman Institut Seni Indonesia Denpasar, Gunung Agung pada masa Bali kuno disebut Gunung Tohlangkir yang merupakan stana Mahadewa dan Hyang Putra Jaya.

Pada kisah Ramayana Kisikinda Parwa, Gunung Agung disebut Udaya Parwata.

Dilansir dari laman jabar.tribunnews.com, terdapat cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi tentang legenda Gunung Agung.

Dalam legenda tersebut Gunung Agung dipercaya merupakan bagian Gunung Mahameru di India.

Dikisahkan pada zaman dahulu sebagian Gunung Mahameru diangkat oleh para dewa yang kemudian jatuh di tiga tempat.

Potongan yang jatuh di kawasan Jawa berubah menjadi Gunung Semeru, potongan kedua yang jatuh di Bali membentuk Gunung Agung, dan potongan yang terakhir jatuh di Pulau Lombok menjadi gunung Rinjani.

Gunung-gunung menjadi tali pengikat pulau-pulau yang semula tampak mengambang bagaikan perahu tanpa kemudi di atas lautan lepas agar menjadi lebih stabil.

Masyarakat Hindu di Bali juga menganggap Gunung Agung sebagai tempat yang suci karena dipercaya sebagai tempat bersemayam Sanghyang Widhi Wasa dengan semua manifestasi-Nya.

Di lereng gunung ini juga terdapat Pura Penataran Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung yang merupakan salah satu kahyangan jagad.

Pura Penataran Agung linggih Ida Bhatara Gunung Agung berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dan dibangun dengan luas kurang lebih satu hektar.

Aturan Mendaki Gunung Agung

Gunung Agung juga menjadi salah satu gunung yang menjadi tujuan favorit para pendaki.

Namun karena gunung ini menjadi tempat yang disakralkan oleh masyarakat terutama umat Hindu, maka terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh pendaki.

Dilansir dari laman Tribunnews.com, pendaki Gunung Agung tidak hanya harus menjaga kebersihan dan kelestarian alam.

Salah satunya pendaki Gunung Agung dilarang membawa logistik yang mengandung daging sapi karena sapi merupakan hewan yang disucikan oleh umat Hindu.

Selain itu, pendaki juga dianjurkan membawa makanan dengan jumlah genap.

Pendaki juga dilarang mengambil air sembarangan, karena beberapa mata air di Gunung Agung merupakan mata air yang disucikan.

Untuk mengambilnya, diharuskan melakukan persembahyangan terlebih dahulu baik oleh pendaki atau diwakili oleh pemandu.

Aturan lain adalah dilarang mendaki dalam keadaan tidak suci seperti pada masa datang bulan bagi wanita dan pada masa berkabung karen anggota keluarganya baru saja meninggal.

Sumber:
vsi.esdm.go.id  
gln.kemdikbud.go.id  
tourism.karangasemkab.go.id  
jabar.tribunnews.com  
tribunnews.com 
kompas.com (Penulis : Nur Fitriatus Shalihah, Editor : Rizal Setyo Nugroho)

https://denpasar.kompas.com/read/2023/01/24/182154578/gunung-agung-gunung-api-tertinggi-di-pulau-bali-yang-disakralkan

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com