Salin Artikel

Saat Nama Nyoman dan Ketut Disebut Terancam Punah di Bali...

Nyoman adalah nama yang digunakan untuk anak ketiga di Bali. Sedangkan Ketut biasanya disematkan pada nama anak keempat.

Gubernur Bali I Wayan Koster mengklaim, pemerintah melakukan sejumlah upaya untuk mempertahankan nama Nyoman dan Ketut.

Di Buleleng, pada Senin (21/8/2023), Gubernur Koster bahkan menjanjikan insentif pendidikan bagi anak bernama Nyoman dan Ketut.

Perihal kondisi nama Nyoman dan Ketut diungkapkan oleh Gubernur Koster saat sidang paripurna ke-23 di Kantor DPRD Bali, Juni 2023.

"Sekarang kalau lihat anak-anak menabuh seka (gamelan) itu, (saat disuruh) angkat tangan yang namanya Nyoman sudah sedikit, coba angkat (tangan) yang namanya Ketut, enggak ada lagi," kata Koster, Rabu (28/6/2023).

Koster saat itu menegaskan, nama yang dia sebut sebagai warisan leluhur itu bisa punah jika pemerintah tak turun tangan.

"Ini merupakan peringatan serius, kalau tidak dilakukan upaya nyata nama Ketut (dan Nyoman) terancam punah," ujar dia.

Koster menyebutkan, berdasarkan data Pemerintah Provinsi Bali, jumlah penduduk di Pulau Dewata sebanyak 4,3 juta di tahun 2022.

Jumlah anak dan siswa setingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama yang menggunakan nama Bali ada 595.931 orang.

Nama Putu, Wayan, dan Gede sebagai anak pertama tercatat sebanyak 233.013 atau sekitar 39 persen.

Disusul kemudian nama anak kedua yaitu Made, Kadek, dan Nengah sebesar 36 persen atau 215.731 orang.

Nama anak ketiga dan keempat jumlahnya lebih kecil.

Untuk nama Komang dan Nyoman ada sekitar 109.198 anak atau sekitar 18 persen.

Terakhir, nama Ketut atau anak keempat hanya 6 persen, sebanyak 37.389 orang.

"Jadi kecil sekali yang Ketut ini," kata Koster.

Kelonggaran program KB

Koster menilai, salah satu penyebab minimnya anak bernama Ketut adalah karena program Keluarga Berencana dengan aturan dua anak.

"Jadi kita diberikan warisan oleh leluhur kita. Kita kok rusak dengan KB dua anak," kata dia.

Gubernur Bali mengaku telah berbicara dengan Badan Kependudukan Keluarga Berencana (BKKBN) supaya memberi kelonggaran warga.

Dia pun secara resmi telah mengeluarkan aturan Instruksi Gubernur Bali Nomor 1545 Tahun 2019 tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana Krama Bali.

"Maka saya di Bali tidak mengizinkan KB dua anak. KB hidup yang berkualitas, rencanakan saja mau dua, tiga, empat, lima, enam anak, tapi dari satu ibu," katanya.

Insentif pendidikan

Di Buleleng, Koster kembali menegaskan upaya pemerintah untuk menjaga nama Nyoman dan Ketut.

Dia menjanjikan insentif pendidikan khusus agar untuk anak ketiga dan keempat bernama Nyoman dan Ketut sampai tingkat perguruan tinggi.

"Nanti saya akan memberikan insentif program Ketut dan Nyoman. Ditanggung nanti sekolahnya, dikasi insentif (pendidikan) untuk Nyoman dan Ketut," kata Koster, Senin (21/8/2023).

Menurutnya, program pengendalian penduduk dengan dua anak dapat mengancam stabilitas Bali. Dia pun menyinggung beberapa negara yang mengalami krisis populasi.

"Kalau defisit penduduk siapa yang mau diajak mebanjar, diajak megambel, diajak ngelawar dan ke pura," katanya.

https://denpasar.kompas.com/read/2023/08/22/095516478/saat-nama-nyoman-dan-ketut-disebut-terancam-punah-di-bali

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com