Salin Artikel

Saat Umat Islam di Bali Shalat Tarawih dalam Sunyi di Hari Nyepi...

“Enggak ada masalah, enggak ada kendala,” ujar Idan, yang lahir 32 tahun lalu di Denpasar.

Pada Hari Nyepi, seluruh warga berada di dalam rumah dari pukul 06.00 Wita hingga 24 jam ke depan. Semua toko tutup, jalanan sepi, dan secara umum tidak ada aktivitas di luar sama sekali – kecuali pecalang (penjaga keamanan tradisional Bali) yang berpatroli serta beberapa rumah sakit.

Bahkan Bandara Ngurah Rai pun kosong melompong selama 24 jam. Tidak ada pesawat yang mendarat ataupun lepas landas.

Menurut Idan, ini bukan untuk yang pertama kalinya shalat tarawih – ibadah sunnah yang dilakukan pada malam sebelum puasa hari pertama – terjadi berbarengan dengan Nyepi.

“Saya sendiri juga pernah shalat Jumat dan shalat Ied bertepatan dengan Nyepi,” tutur Idan kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan dari Bali untuk BBC News Indonesia.

“Sudah terjalin koordinasi yang cukup solid antara masjid, pecalang, dan desa adat yang memastikan dua ibadah ini bisa berjalan bersama-sama. Kuncinya ada di koordinasi dan komunikasi,” papar Idan.

Hal sama dirasakan Anjanni, 35, seorang pekerja lepas sekaligus ibu rumah tangga yang tinggal di Kerobokan, Denpasar. Anjanni menyebut masyarakat Hindu di Pulau Dewata cukup toleran.

“Bahkan di beberapa kesempatan, para pecalang ikut menjaga ketertiban setiap ada kegiatan seperti shalat Jumat dan shalat Idul Fitri,” ujar perempuan muslim itu.

Tahun lalu, sambung Anjanni, ibadah tarawih pertama juga jatuh pada hari yang sama dengan Hari Nyepi.

Sama seperti tahun lalu, surat imbauan yang beredar dari Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Bali menyebut umat Islam dapat menjalankan shalat tarawih di tempat ibadah terdekat dengan berjalan kaki atau di rumah masing-masing dengan penerangan terbatas dan tidak menggunakan pengeras suara sama sekali.

Meski begitu, Anjanni yang tinggal di Kerobokan secara pribadi lebih memilih untuk beribadah shalat tarawih di rumah.

“Suasana tarawih di rumah di Hari Nyepi justru terasa lebih khusyuk. Pada Hari Nyepi suasananya terasa lebih tenang, lebih sepi, juga tidak ada keributan sama sekali. Dalam Islam tidak ada kewajiban melaksanakan shalat tarawih di masjid, sehingga sah-sah saja dilakukan di rumah,” ujar Anjanni.

Begitu pula dengan Abdul, 37, seorang guru di sekolah swasta yang sudah tinggal di Bali sejak 12 tahun yang lalu.

“Pada kesempatan Nyepi, ibadah shalat tarawih di rumah saya rasa lebih bagus. Saya akan mengikuti anjuran tersebut tanpa merasa terbebani.”

Fahrul, salah seorang pengurus masjid, menyebut kerukunan di wilayah tersebut sudah lama terjalin.

“Kita Kampung Bugis ini sudah berdampingan dengan Desa Adat Tuban sejak ratusan tahun yang lalu,” ujar Fahrul.

“Dari jalinan yang sudah terjalin sejak lama itu, akhirnya muncul kesadaran untuk saling menghormati, saling mengerti.”

Saat shalat tarawih berlangsung, takmir dan pengurus masjid menunaikan shalat di Masjid Asasuttaqwa dengan penerangan terbatas dan tidak menggunakan pengeras suara guna menghormati umat Hindu yang juga beribadah. Adapun warga muslim di Kampung Bugis shalat tarawih di rumah masing-masing.

“Tidak ada yang dipaksa. Jadi, semua berjalan natural,” ujar Fahrul yang mengatakan warga setempat sudah terbiasa untuk shalat berjemaah di rumah – terutama belajar dari pengalaman pandemi.

Perwakilan dari Desa Adat Tuban, I Gede Agus Suyasa, mengatakan tradisi yang berjalan antara umat Hindu dan Islam di daerahnya sudah “turun temurun, bahkan ratusan tahun”.

“Tidak ada yang berani menentukan siapa yang duluan. Mereka [warga Kampung Bugis pun datang sudah ratusan [yang lalu],” ujar Agus.

“Di Bali bisa dipastikan toleransi itu tinggi,” tegasnya.

Lantas apakah pelaksanaan keamanan Hari Nyepi kali ini lebih diperketat?

Ketua Umum Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama Indonesia, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, yang juga merupakan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali, mengatakan media sosial yang cepat dan canggih membuat sering ada pelanggaran dan masalah kecil yang jadi viral dan dibesar-besarkan.

“Seolah-olah masalah besar yang padahal sebenarnya bisa diselesaikan di tingkat desa,” ujarnya.

Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menjelaskan bahwa Hari Raya Nyepi berbeda dengan hari-hari raya Hindu Bali lainnya, sebab ini “adalah hari raya untuk alam semesta supaya aman, tenang, damai, dan bernapas.”

“Karena sifatnya yang begitu, maka pada Hari Raya Nyepi, Bali sungguh membutuhkan suasana yang hening, tenang, damai untuk alam semesta. Bandara dan pelabuhan pun harus ditutup [...] dispensasi hanya untuk hal-hal yang bersifat penting atau daruat,” ujarnya.

“Bagi umat Hindu Bali, bisa saja menyepi di tempat yang ramai – misalnya yang berada di luar Bali di Jakarta, Surabaya, di kota-kota besar yang ramai – tetapi untuk Bali, alam Bali membutuhkan secara mutlak suasana sepi, hening, aman, damai, dan membahagiakan saat Hari Raya Nyepi,” ujar dia

Meskipun begitu, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengatakan bahwa tentunya Bali “harus menerima para pendatang dengan berbagai agama, adat, suku, bangsa, dan tradisi.”

Karena itu, ketika Hari Raya Nyepi bertepatan dengan shalat tarawih pertama pada 11 Maret 2024, solusi yang diambil adalah pelaksanaan shalat tarawih di masjid atau mushala terdekat tanpa pengeras suara atau di rumah masing-masing.

Menurut Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, hal ini “sudah diatur sedemikian rupa” sehingga shalat tarawih berjalan dan Hari Raya Nyepi tidak tercederai. Ini, lanjutnya, menunjukkan toleransi, kekompakan, dan kebersamaan antara umat Hindu Bali dan umat-umat lainnya sedari dulu.

Secara terpisah, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Nyoman Kenak, mengatakan pihaknya menginginkan adanya toleransi aktif dan bukan toleransi pasif pada pelaksanaan Nyepi tahun 2024.

“Bagi umat Islam yang lama di Bali dan paham esensi Nyepi yang berlangsung hanya satu hari saja – tidak ada keluhan. Toleransi ini patut ditiru oleh generasi muda saat ini,” ujar dia.

Sementara Halili dari Setara Institute menyebut ibadah Nyepi adalah kewajiban bagi umat Hindu dalam ajaran agama mereka. Sementara shalat tarawih hukumnya sunnah dan berlangsung sebulan penuh sepanjang Ramadhan.

“Dalam konteks itu, berkorban dengan membatasi diri atau 'mengurangi' sendiri derajat keramaian dalam penyelenggaraan tarawih untuk menghormati Nyepi yang hanya sehari, menurut saya sesuatu yang dengan mudah dilakukan oleh umat Islam,” ujar Halili.

“Soalnya kalau enggak semua Nyepi, ada yang dikasih ke sana ke mari, suasana Nyepi-nya enggak dapet,” ujarnya.

Meski begitu, Tugus mengerti kondisi Nyepi tahun ini kondisinya berbeda karena memasuki bulan puasa.

“Aku berharap yang tarawih ada inisiatif untuk enggak pakai speaker [alat pengeras suara] aja sih,” ujarnya.

“Tapi itu kembali ke mereka. Hak untuk beribadah dengan caranya mereka. Dan bagaimana mereka beribadah dengan caranya mereka.”

Kembali ke Idan, dirinya merasa solusi yang ada saat ini sudah cukup dengan mengizinkan warga yang ingin tarawih di masjid dengan berjalan kaki dan tidak menggunakan pengeras suara.

“Tapi memang dari pihak desa dan masjid menghimbau agar shalat tarawih sebaiknya di rumah saja,” ujar Idan, yang mengaku sama sekali tidak ada masalah apabila tarawih harus dilaksanakan di rumah.

Apalagi, menurutnya, hanya ada satu hari Nyepi selama satu tahun untuk umat Hindu Bali.

“Lagipula [bulan] Ramadhan ada 30 hari. Jadi di hari-hari lain umat Islam bisa melaksanakan tarawih di masjid seperti biasa.”

https://denpasar.kompas.com/read/2024/03/12/093900778/saat-umat-islam-di-bali-shalat-tarawih-dalam-sunyi-di-hari-nyepi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke