Salin Artikel

Omed-omedan, Tradisi Usai Nyepi di Bali yang Digelar Sejak Abad 17

Tradisi yang cenderung diikuti oleh pemuda dan pemudi ini kembali digelar pada Rabu (11/3/2024), atau hari pertama setelah perayaan Hari Raya Nyepi Caka 1946 yang jatuh pada Selasa (11/3/2024). 

Dari pantauan Kompas.com, acara ini berlangsung meriah dan diikuti oleh ratusan anak muda setempat. Mereka berpakaian adat Bali dan terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok laki-laki (taruna) dan perempuan (taruni). 

Saat pelaksanaan ritual, setiap kelompok memilih satu orang secara bergantian untuk diangkat dan diarak  posisi paling depan barisan. 

Selanjutnya, kedua kelompok saling berhadap-hadapan. Pemuda dan pemudi dibarisan depan saling berpelukan. 

Saat saling beradu, para peserta disirami air hingga basah kuyup oleh panita. Masing-masing kelompok lalu berupaya rekannya hingga terlepas dari pelukan. 

Tradisi unik ini mengundang daya  tarik wisatawan mancanegara dan domestik serta warga setempat. Mereka memadati jalan raya untuk menonton kemeriahan dan semangat para anak muda ini. 

I Made Sudama, selaku Kelien Adat Banjar Kaja, Sesetan, menyebut dalam bahasa Indonesia, omed-omedan berarti tarik menarik. Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang tetap dilestarikan hingga hari ini. 

"Ini sudah ada sejak abad ke 17 kemudian yang kita laksanakan sampai sekarang," kata dia di lokasi usai acara bertajuk Sesetan Heritage Omed-Omedan Festival (SHOOF) 2024, Rabu. 

Ia menjelaskan ritual dalam tradisi bukan ajang untuk saling bercium dan mencari jodoh. Acara yang rutin digelar setiap tahun ini sebagai bentuk kebersamaan dan kekeluargaan warga usai ibadah Nyepi. 

"Filosofinya adalah untuk merayakan hari raya Nyepi, silaturahmi antar krama banjar. Sekarang dilakukan anak muda setiap pergantian tahun caka kita bersilaturahmi. Bukan ajang mencari jodoh di sini, ini murni tradisi," kata dia. 

Oleh karena itu, lanjut Sudama, tak sedikit para anak muda ini yang mengikuti ritual ini mengalami kerauhan (kesurupan). Hal ini sebagai tanda bahwa tradisi ini merupakan sesuatu yang religius dan sakral.

"Ada momentum menyakini ini memang mengandung unsur religius karena apa? Kalau tradisi ini hilang, pada zaman Belanda sebenarnya bisa hilang karena dilarang tetapi bisa dilangsungkan warga," jelas Sudama.

"Zaman Jepang juga begitu pernah orang tua kita membayar upeti kepada Jepang karena bersikukuh melestarikan tradisi ini," lanjutnya.

Sementara itu, Melia (20) dan Sintya (20), peserta perempuan Omed-omedan mengaku sangat antusias mengikuti tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur. 

Keduanya mengaku sudah empat kali mengikuti ritual ini terhitung sejak tahun 2020. Mereka akan berhenti mengikuti ritual ini bila sudah bersuami. 

"Tadi (saat ritual) cuman berpelukan aja sih. Terus ditarik, didorong dan disirami air," kata Melia. 

https://denpasar.kompas.com/read/2024/03/12/193038378/omed-omedan-tradisi-usai-nyepi-di-bali-yang-digelar-sejak-abad-17

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke