Salin Artikel

Suku Lamalera, Pemburu Paus yang Ulung dari Lembata

KOMPAS.com - Suku Lamalera adalah sebutan untuk kelompok etnis yang tinggal di Kampung Adat Lamalera, tepatnya di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Suku Lamalera juga biasa disebut sebagai orang Lamalera, yang dikenal dunia dengan tradisi berburu paus secara tradisional.

Mereka biasanya mulai menangkap ikan Paus saat mussi leffa atau leffa nuang, sebutan untuk musim kemarau yang jatuh pada bulan Mei sampai September.

Para nelayan pemburu paus dari Lamalera ini akan menggunakan kapal layar yang disebut sebagai paledang dengan didayung beramai-ramai untuk ke tengah laut.

Jika ada paus buruan yang lewat, maka juru tombak atau lama fa akan segera melemparkan tombak ke arah paus tersebut yang biasanya dilakukan dari haluan kapal.

Tradisi berburu paus yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini bahkan telah menjadi ciri khas dari nelayan Lamalera.

Asal-usul Suku Lamalera

Dilansir dari laman Kemdikbud, menurut peneliti asal Australia Ambrosius Oleona dan Pieter Tedu Bataona, orang Lamalera yang terdiri dari kelompok-kelompok komunitas kekerabatan suku dan marga, bukan dari penduduk asli Pulau Lembata.

Asal-usul orang lembata ini dapat dilacak dari benda peninggalan sejarah dan dan syair (folkolore) yang diwariskan secara turun temurun hingga saat ini.

Seperti dalam syair yang disebut “Lia asa usu” atau syair asal-usul yang dinyanyikan pada acara adat kebesaran.

Syair ini mengisahkan perjalanan nenek moyang suku-suku induk di Lamalera, mulai dari tanah Luwuk hingga sampai dan menetap di selatan Pulau Lembata.

Sebelum mencapai Pulau Lembata, mereka lebih dahulu mengikuti perjalanan armada Patih Gajah Mada menuju perairan Halmahera hingga sampai Irian Barat.

Selanjutnya, mereka memutar haluan ke arah selatan menyinggahi Pulau Seram, Pulau Grom, Ambon, Kepulauan Timor, dan akhirnya mendarat di Pulau Lembata.

Berdasarkan peninggalan itu juga dapat pula dilacak bahwa orang Lamalera berasal dari Luwuk Sulawesi Selatan.

Kepindahan mereka dari Sulawesi Selatan dilatarbelakangi oleh adanya serangan penaklukan kerajaan yang ada di Sulawesi oleh Majapahit semasa pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Kelompok yang pindah inilah yang menjadi cikal bakal komunitas lima suku-suku/marga orang lamalera yaitu suku Batona, Blikolollo, Lamanundek, Tanakrofa dan Lefotuka.

Setelah menetap, mereka pun mulai membangun sistem kekerabatan dan desa nelayan yang terus bertahan hingga saat ini.

Nelayan Suku Lamalera

Sejak dulu, menjadi nelayan dengan kesehariannya mencari dan menangkap ikan di laut merupakan mata pencaharian utama dari masyarakat Lamalera.

Keahlian sebagai nelayan juga diwariskan oleh leluhur, dan sudah diturunkan lebih dari 500 tahun yang lalu.

Salah satuciri khas sebagai nelayan Lamalera yang membuatnya berbeda dari nelayan lain yaitu mereka mengkhususkan diri menangkap ikan yang besar terutama paus.

Selain itu, nelayan Lamalera tidak menangkap paus begitu saja namun terikat oleh aturan adat tertentu.

Mulai dari tata cara pembuatan perahu untuk menangkap ikan paus, menyimpan alat-alat, proses berburu hingga, pembagian hasil tangkapan memiliki aturan tersendiri

Dilansir dari laman Kompas.id, Daya Desa Lamalera A Alexander Muko Keraf menjelaskan bahwa perburuan paus yang dilakukan nelayan Lamalera kerap dibenturkan dengan masalah konservasi.

Hal ini karena paus sperma masuk daftar satwa berstatus rentan menurut Daftar Merah IUCN 2018, artinya populasinya di alam menurun.

Namun, ia menegaskan bahwa perburuan paus di Lamalera dilakukan secara tradisional dan bukan untuk kepentingan industri.

Nelayan di Lamalera juga tidak menangkap paus biru, melainkan lebih sering memburu paus sperma (Physeter macrocephalus) atau dikenal penduduk lokal sebagai koteklema yang melintasi perairan selatan Lembata.

Alexander juga berpendapat bahwa tradisi berburu paus ibarat akar bagi budaya Lamalera yang mewariskan nilai-nilai luhur, seperti gotong royong, kerja keras, dan peduli terhadap sesama.

Lebih lanjut, hal ini juga terkait dengan sistem barter yang masih dijalankan masyarakat Lamalera, dengan menukarkan daging paus, lumba-lumba, dan pari manta yang sudah dikeringkan.

Sumber:
ntt.bpk.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id
kompas.id
nationalgeographic.grid.id

https://denpasar.kompas.com/read/2024/05/15/233343278/suku-lamalera-pemburu-paus-yang-ulung-dari-lembata

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com