Salin Artikel

Mengenal Gunung Agung, Puncak Tertinggi di Pulau Dewata yang Disakralkan

KOMPAS.com - Gunung Agung adalah sebuah gunung api aktif yang ada di Pulau Bali, Indonesia.

Lokasi Gunung Agung ada di Kabupaten Karangasem, atau tepatnya di sebelah timur Pulau Bali.

Dikenal sebagai puncak tertinggi di Pulau Bali, ketinggian Gunung Agung adalah 3.142 meter di atas muka laut (mdpl).

Morfologi gunung ini berupa kerucut gunung api dan parasit gunung api, dengan begitu, Gunung Agung merupakan gunung api tipe strato (stratovulcano).

Bentuk lereng Gunung Agung relatif terjal, dengan morfologi parasit gunung api terdapat pada lereng tenggara yang membentuk kerucut-kerucut gunung api (cone shape).

Namun beberapa kerucut pada bagian timur diduga bukan merupakan parasit dari Gunung Agung.

Gunung Agung yang Disakralkan

Gunung Agung juga dikenal menjadi salah satu tempat yang paling disakralkan oleh umat Hindu di Bali.

Koordinator Pemandu Pendakian Gunung Agung, Komang Kayun kepada KompasTravel (28/9/2017) mengungkap bahwa alasan Gunung Agung Disakralkan adalah karena umat Hindu meyakini bahwa Gunung Agung adalah istananya dewa dan dewi, serta roh leluhur yang sudah meninggal.

Hal ini juga dapat diamati dari keberadaan beberapa tempat suci agama Hindu, seperti Pura Besakih di Desa Besakih sebelah barat daya Gunung Agung. Tak jauh dari pura juga terdapat Tirta Giri Kusuma dan Pura Pengubengan.

Legenda Gunung Agung

Ada pula naskah-naskah tua yang bercerita tentang Gunung Agung dan hubungannya dengan kepercayaan masyarakat setempat.

Dilansir dari laman Institut Seni Indonesia Denpasar, konon pada masa Bali kuno disebut Gunung Toh Langkir yang menjadi stana Mahadewa dan Hyang Putra Jaya.

Sementara pada kisah Ramayana Kisikinda Parwa, Gunung Agung disebut Udaya Parwata.

Ada sebuah legenda menarik yang mengisahkan bahwa Gunung Agung merupakan potongan dari puncak Gunung Mahameru.

Dilansir dari laman Pemkab Karangasem, dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul dikisahkan bahwa pada zaman dahulu pulau Bali dikenal dengan sebutan Bali Dwipa dan pulau Lombok disebut Selaparang Dwipa.

Kedua pulau yang masih dalam keadaan kosong ini masih tampak ngambang bagaikan perahu tanpa kemudi di atas lautan lepas,

Ketika itu di pulau Bali ada empat buah gunung sebagai Lingga (Catur Pralingga Giri). yaitu Gunung Lempuyang (timur), Gunung Andakasa (selatan), Gunung Watukaru (barat), dan Gunung Mangu (utara).

Keadaan Bali Dwipa yang labil membuat Bhatara Hyang Pasupati (sang Hyang Parameswara) menjadi sangat khawatir.

Beliau kemudian memerintahkan untuk memindahkan bagian puncak Gunung Mahameru ke Bali Dwipa Agar bumi Bali menjadi stabil.

Adapun Sang Badawang Nala sebagai dasar Gunung, Sang Naga Anantha Boga dan Sang Naga Basukih sebagai tali pengikatnya, serta Sang Naga Tatsaka yang menerbangkannya.

Dalam perjalanan menerbangkan puncak Gunung Mahameru itulah ada bagian yang jatuh dan tercecer, sehingga jadilah Gunung Batur dan gunung-gunung atau bukit-bukit kecil lainnya di Pulau Bali.

Sementara satu belahan Gunung yang merupakan puncak Gunung Mahameru di tempatkan di Bali yang diberi nama Gunung Tohlangkir (Gunung Agung).

Sejarah Letusan Gunung Agung

Jika dilihat dari sejarah aktivitasnya, pola letusan Gunung Agung bersifat eksplosif dan efusif.

Letusan yang bersifat eksplosif biasanya akan melontarkan batuan pijar, pecahan lava, hujan piroklastik dan abu.

Sementara pada letusan efusif di Gunung Agung terdapat dua macam awan panas, yakni awan panas letusan dan awan panas guguran.

Dilansir dari Kompas.com (3/7/2018), catatan kejadian letusan Gunung Agung dimulai pada 1808 dengan aktivitas erupsi yang mengeluarkan abu dan batu dengan jumlah yang banyak.

Kejadian letusan berikutnya terjadi 13 tahun kemudian, yaitu tahun 1821 yang dikategorikan sebagai letusan yang normal dan jangkauan letusan tak seluas pada 1808.

Setelah letusan pada 1821, aktivitas Gunung Agung tercatat kembali ke kondisi normal hingga tahun 1843.

Aktivitas Gunung Agung di tahun 1843 kembali meningkat dengan didahului sejumlah gempa bumi dan memuntahkan abu vulkanik, pasir, dan batuan.

Letusan kembali terjadi pada 1963 yang sebelumnya sempat terjadi gempa di sekitar Gunung Agung.

Letusan ini diawali dengan keluarnya asap tebal pada 20 Februari 1963. Kemudian, pada 17 Maret 1963, letusan terjadi dengan hujan abu dan kerikil mulai turun dari arah kawah ke pemukiman warga.

Letusan tersebut membuat sekitar 1.148 orang meninggal dunia dan 296 orang mengalami luka-luka.

Aktivitas Gunung Agung baru berhenti berbulan-bulan kemudian, tepatnya Januari 1964.

Pada 2017, aktivitas Gunung Agung kembali aktif, dengan peningkatan status dari siaga menjadi awas pada 22 September 2017.

Begitu juga pada 2018, Gunung Agung kembali menunjukkan aktivitas yang letusannya menyebabkan kebakaran di sekitar puncak dan lereng gunung.

Di tahun 2019, Gunung Agung kembali erupsi yang menyebabkan hujan abu vulkanik dengan intensitas tipis hingga tebal terjadi di beberapa tempat, seperti di Kabupaten Karangasem, Bangli dan Klungkung.

Status Gunung Agung kemudian diturunkan dari Level III (Siaga) ke Level II (Waspada) pada 16 Juli 2020.

Gunung Agung sebagai Tujuan Pendakian

Meski tidak termasuk jajaran Seven Summit Indonesia atau Tujuh Puncak Tertinggi di Indonesia, namun keindahan Gunung Agung cukup menjadi daya tarik di kalangan pendaki.

Hal ini karena dari puncaknya, pendaki bisa melihat pemandangan dari ketinggian, termasuk panorama gunung-gunung lainnya seperti Rinjani di Lombok.

Bahkan jika cuaca cerah, pendaki yang beruntung juga bisa melihat Gunung Batur beserta danaunya.

Ada dua jalur populer yang biasa digunakan pendaki untuk menuju puncak Gunung Agung, yaitu lewat Pura Agung Besakih di Desa Besakih dan Pura Pasar Agung di Desa Sebudi.

Melalui Pura Agung Besakih juga masih terdapat dua pilihan jalur, yaitu Mulut Junggul di sisi Timur dan melalui Pura Penguban.

Adapun tujuan pendakian terdiri dari tiga titik yaitu Puncak 1 di ketinggian 2.800 mdpl, Puncak 2 di ketinggian 3.140 mdpl, dan Puncak 3 di ketinggian 3.142 mdpl.

Karena gunung ini disakralkan, tentunya ada banyak aturan adat yang wajib dipatuhi oleh para pendaki.

Beberapa aturan tersebut antara lain, pendaki dilarang naik jika ada keluarga dekat atau sepupu yang meninggal karena mereka dalam keadaan bersedih.

Pendaki baru bisa memulai perjalanan setelah melewati waktu tertentu sesuai aturan adat setempat.

Kemudian, bagi wanita dilarang mendaki saat haid atau datang bulan.

Selain itu, pendaki juga tidak boleh membawa bahan makanan dari daging sapi dan membawa perhiasan yang terbuat dari emas.

Sumber:
vsi.esdm.go.id
bpbd.baliprov.go.id
isi-dps.ac.id
tourism.karangasemkab.go.id
kompas.com (Wahyu Adityo Prodjo, Sri Anindiati Nursastri, Aswab Nanda Pratama, Nur Rohmi Aida, Inggried Dwi Wedhaswary)

https://denpasar.kompas.com/read/2024/06/04/222137378/mengenal-gunung-agung-puncak-tertinggi-di-pulau-dewata-yang-disakralkan

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com