Tradisi itu terus mengakar karena tidak adanya komitmen dari para pemangku kepentingan di lingkungan pendidikan kedokteran itu untuk menuntaskan kasus tersebut.
"Perundungan ini sudah puluhan tahun tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas karena memang kurang komitmen daripada stakeholder," kata dia kepada wartawan di RS Ngoerah Denpasar, Bali, pada Senin (2/9/2024).
Ia mengatakan, kebiasaan buruk ini terus dirawat dengan alasan untuk membentuk karakter dokter muda.
Padahal, pendidikan profesi lain juga banyak menciptakan karakter yang tangguh, namun tanpa harus menghadapi praktek perundungan.
"Jadi tidak benar bahwa perundangan itu dipakai sebagai alasan untuk menciptakan tenaga-tenaga yang tangguh," kata dia.
Budi mengatakan, bentuk perundungan yang dialami para korban dalam kasus ini juga berbagai macam baik secara fisik maupun mental. Mulai dari pelecehan seksual hingga menjadi korban pemerasan.
"Puncaknya pada saat kemarin akhirnya ada yang tidak tahan akibatnya meninggal."
"Menurut saya ini sudah keterlaluanlah dan sudah saatnya praktek-praktek seperti ini tidak ada lagi di dunia pendidikan apalagi di spesial," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, seorang mahasiswi PPDS Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah (Jateng) ditemukan tewas di kamar kosnya, Senin (12/8/2024) malam.
Polisi menyebutkan, korban tewas usai menyuntikkan diduga obat penenang ke tubuhnya sendiri.
Warga asli Kota Tegal itu ditemukan meninggal pada Senin (12/8/2024) sekitar pukul 22.00 WIB di kamar kos yang berlokasi di Lempongsari, Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Akibat kasus ini, Kementerian Kesehatan langsung menutup sementara kegiatan pendidikan PPDS Anestesi.
https://denpasar.kompas.com/read/2024/09/02/164743278/kasus-perundungan-di-ppds-menkes-singgung-komitmen-stakeholder