Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Badung menilai perbuatan terdakwa terbukti melakukan korupsi dalam bentuk pemerasan terhadap investor pembangunan apartemen sebesar Rp 100 juta
Tuntutan ini dilayangkan jaksa di hadapan Majelis Hakim yang diketuai I Gede Putra Astawa, dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (5/9/2024) siang.
"Memohon kepada Majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk memutuskan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa atas kesalahannya dengan penjara selama enam tahun," kata Jaksa Ni Luh Oka Ariani.
Selain pidana penjara, Riana juga dituntut membayar pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider tiga bulan kurangan.
Terdakwa juga dituntut agar dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian sebesar Rp 50 juta.
"Dengan ketentuan, jika terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti paling lama setelah satu bulan setelah putusan hakim inkrah, maka harta benda miliknya disita, dan oleh jaksa untuk mengganti uang pengganti tersebut.
Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka diganti pidana penjara selama tiga tahun," kata Oka.
Mendengar tuntutan tersebut, Riana yang duduk di kursi terdakwa tampak tertunduk lesu sembari mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Dalam kasus ini, Riana dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Merespons tuntutan ini, terdakwa bersama penasihat hukumnya meminta waktu dua minggu kepada Majelis Hakim untuk menyiapkan pledoi atau pembelaan tertulis.
Sidang kembali dilanjutkan pada, Kamis (19/9/2023) mendatang.
Sebelumnya diberitakan, kasus ini bermula ketika PT. Berawa Bali Utama berencana melakukan investasi pembangunan apartemen dan resor di Desa Adat Berawa dengan nilai kontrak Rp 3,6 miliar.
Kemudian, perusahaan itu menunjuk PT Bali Grace Efata dengan Andianto Nahak T Moruk selalu Direktur untuk mengurus perizinan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Selanjutnya, Andianto mulai menjalin komunikasi dengan terdakwa sebagai Bendesa Adat Berawa untuk mengurus izin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Selain itu, SPPL (Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup) sebagai bentuk persetujuan lingkungan yang wajib dimiliki oleh setiap usaha dan kegiatan, yang memiliki dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan.
Kala itu, terdakwa meminta uang Rp 10 miliar kepada Andianto dengan dalih dana sumbangan (Dana Punia) terkait kegiatan rencana investasi, namun tidak disanggupi oleh saksi karena melebihi nilai investasi.
Kemudian, pada November 2023, terdakwa meminta uang Rp 50 juta, yang diserahkan saksi tanpa kwitansi di sebuah kafe di Jalan Sunset Road Legian, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, pada 20 November 2023.
Singkat cerita, Riana menolak menandatangani administrasi perijinan pembangunan apartemen tersebut jika tidak memberikan kontribusi berupa uang sebesar Rp 10 miliar sesuai permintaan sebelumnya.
Kemudian, Andianto menawarkan uang Rp 100 juta sembari menunggu kepastian dari pihak investor.
Keduanya pun bersepakat untuk bertemu di sebuah kafe di Renon, Denpasar, pada Kamis (2/5/2024) sekitar pukul 15.00 Wita.
Saat itulah, terdakwa langsung diringkus oleh personel Kejati Bali dan mengamankan barang bukti berupa uang tunai pecahan seratus ribu sebanyak Rp 100 juta.
https://denpasar.kompas.com/read/2024/09/05/125328778/peras-investor-rp-10-miliar-kades-adat-di-bali-dituntut-6-tahun-bui