Ia menjelaskan bahwa RPMK tersebut akan fokus pada standardisasi warna kemasan rokok konvensional dan rokok elektronik.
"Bukan polos yah, tapi standardisasi. Nanti kita samakan warnanya, kan standarisasinya informasi, kemudian peringatan, kemudian besarnya gambar, kemudian penempatan pita cukai dan warnanya," ujar Siti saat ditemui di RSUP Prof Ngoerah Denpasar, Bali, pada Kamis (3/10/2024).
Siti menambahkan bahwa penerapan aturan ini bertujuan untuk menyeragamkan warna semua kemasan rokok, tanpa melarang pencantuman logo atau merek pada kemasan produk.
"Merek dan logo itu kita nggak atur, hanya warna aja. Jadi standardisasi kemasan warna. Jadi bukan polos. Kalau polos itu nggak ada semua. Beda kalau polos, itu nggak ada merek, nggak ada logo, dan nggak ada warnanya," jelasnya.
Dia juga menyebutkan bahwa peragaman warna kemasan rokok ini telah diterapkan di beberapa negara, seperti Australia, Malaysia, dan Singapura.
"Kita tidak menghentikan perokok dewasa yah karena perokok dewasa udah susah yah itu kesadaran diri sendiri. Tapi yang perlu kita jaga adalah anak-anak kita," tambahnya.
Siti menargetkan agar aturan tersebut mulai berlaku pada tahun 2025. Saat ini, pihaknya masih membutuhkan masukan dari berbagai pihak untuk mensahkan aturan tersebut.
"Kan kita ada partisipasi publik, masukan pasti, tapi kan kepentingan pasti berbeda. Perbedaan itu kita lihat seperti apa. Karena kan studi-studi udah jelas dari universitas sudah tepercaya," tuturnya.
Dilansir dari Kompas.com, pembahasan RPMK tentang pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik ini memicu pro dan kontra, terutama di kalangan stakeholder yang terlibat dalam industri tembakau di Indonesia. Mulai dari pemangku kepentingan mata rantai industri hasil tembakau, pedagang, pekerja, dan konsumen.
RPMK ini merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2024 terkait standardisasi kemasan berupa kemasan polos (plain packaging).
https://denpasar.kompas.com/read/2024/10/03/175912078/polemik-kemasan-rokok-kemenkes-bukan-polos-tapi-standarisasi-warna