Menurut dia, lahan jalan yang dipersoalkan berada di dalam kawasan GWK dan secara formal menjadi hak pengelola.
"Saya sudah koordinasi dengan masyarakat di sana dan beberapa tokoh juga. Memang jalan itu sudah ada sejak lama. Di kiri kanannya itu memang lahan milik warga yang sudah dijual ke pihak GWK. Nah, jalannya kan ada di dalam," ujarnya, Sabtu (27/9/2025) di Buleleng.
Meski demikian, menurutnya, pihak manajemen seharusnya tidak hanya berpegang pada aturan tertulis.
Koster menegaskan, meski GWK memiliki hak formal, pengelolaan kawasan seharusnya mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat sekitar.
"Secara kewilayahan, karena lahan jalan itu berada di dalam, tentu saja pihak GWK formal berhak mengatur. Karena wilayahnya. Tapi tentu saja GWK tidak bisa hanya memakai cara formal. Harus memakai cara kultural, kemasyarakatan," ucap dia.
Ia mengingatkan agar kawasan pariwisata internasional seperti GWK tidak menjadi area eksklusif yang justru menyingkirkan warga lokal.
"Nah, itu kawasan pariwisata GWK jangan sampai menjadi kawasan yang eksklusif sampai harus mengorbankan kepentingan masyarakat," ucap Koster.
"Apalagi masyarakatnya itu sudah sejak dulu ada akses itu dan saya cek tidak ada akses lain. Cuma ada itu. Kalau ada akses lain, kan kita bisa carikan jalan keluar. Jadi ini enggak ada," tuturnya.
Koster mengatakan, ia akan segera melakukan komunikasi dengan manajemen GWK untuk mencari solusi terbaik.
"Saya akan segera bicara dengan manajemen GWK agar dicarikan jalan keluar terbaik," kata Koster.
Menurut dia, GWK sebaiknya menjadikan lingkungan masyarakat itu sebagai kekuatan penopang.
"Jangan dijadikan musuh, jangan dijadikan lawan, jangan dijadikan orang yang mengganggu, tapi tata dia supaya dia menjadi baik, gitu. Kalau bermusuhan dengan masyarakat, itu enggak kondusif, selamanya itu akan bermasalah dia," ucapnya.
https://denpasar.kompas.com/read/2025/09/28/084730878/akses-warga-desa-ungasan-ditutup-tembok-gwk-koster-jangan-jadi-kawasan