Pernyataan tersebut disampaikan saat Koster menerima kunjungan kerja Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman RI, Fahri Hamzah, di Denpasar pada Jumat (3/10/2025).
“Pariwisata menyumbang 66 persen perekonomian Bali, namun sangat sensitif terhadap bencana dan isu keamanan," ungkap Koster.
Menanggapi situasi ini, Pemerintah Provinsi Bali sedang merancang transformasi ekonomi agar Bali dapat bertahan baik dengan atau tanpa dukungan pariwisata.
Koster juga mencatat bahwa di bagian hilir, tepatnya di pinggir Tukad Badung, Kota Denpasar, terdapat banyak tempat tinggal yang tergolong padat dan melanggar tata ruang.
"Yang sudah terbangun sekitar 50 tahun yang lalu dan saat itu Bali belum memiliki tata ruang," jelasnya.
Namun, banyak perumahan yang berfungsi sebagai akomodasi wisata tanpa izin yang sesuai.
Oleh karena itu, perlu ada penyempurnaan kebijakan perizinan yang sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah.
Terkait kebijakan moratorium yang ditetapkan Koster, yang melarang alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan komersial seperti hotel dan restoran mulai 2025, Perry menilai Pemerintah Provinsi Bali harus berkoordinasi dengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal.
"Karena OSS di sana. Kalau di sana dikunci, di lokal tidak bisa orang mengajukan (izin). Kalau cuma pernyataan saja (moratorium), tapi masih terbuka (OSS), orang asing kan masih melihat itu karena perizinan ada di sana," jelas Perry pada Sabtu (30/9/2025) lalu.
Perry juga menegaskan bahwa Bali sebagai destinasi global kini menghadapi tantangan lingkungan, seperti banjir, cuaca ekstrem, dan krisis air.
Penyebab utama dari masalah ini adalah alih fungsi lahan yang mengakibatkan hilangnya area resapan air.
https://denpasar.kompas.com/read/2025/10/04/135058078/koster-akui-alih-fungsi-lahan-di-bali-yang-capai-700-hektar-per-tahun