KOMPAS.com - Kehidupan masyarakat Hindu di Bali tidak dapat dilepaskan dari sesajen atau yang yang dikenal juga dengan sebutan banten atau bebantenan.
Bahkan di setiap upacara adat di Bali akan dilengkapi dengan upakara berupa sesajen atau banten.
Baca juga: Mengenal Kain Poleng, Kain Bermotif Kotak Hitam Putih yang Lekat dengan Budaya Bali
Secara etimologi istilah upakara berasal dari kata upa yang berarti dekat, dan kara yang berarti tangan.
Upakara memiliki makna sebagai persembahan suci yang berasal dari kreativitas tangan, sehingga tak heran jika sesaji atau banten memiliki bentuk yang indah dan menarik.
Baca juga: Mengapa Bunga Kamboja Sangat Lekat dengan Kehidupan Masyarakat Bali?
Hal inilah yang membuat banten memerlukan sebuah usaha agar menjadi sempurna sebelum dihaturkan kepada para dewa.
Baca juga: Base Genep, Bumbu Dasar Khas Bali yang Kaya Rasa dan Makna
Dalam pembuatan sebuah banten atau sesajen biasanya akan tersusun dari tiga unsur.
Unsur banten yang pertama adalah mataya atau bahan banten yang berasal dari yang tumbuhan seperti daun, bunga, dan buah
Unsur banten yang kedua adalah maharya atau bahan banten yang berasal dari sesuatu yang lahir, biasanya diwakili oleh binatang seperti babi, kambing, dan lain-lain.
Unsur banten yang ketiga adalah mantiga atau bahan banten yang berasal dari binatang yang lahir dari telur seperti ayam, bebek, dan lain-lain.
Sebagai pelengkap, dalam banten atau sesajen juga biasanya disertai dengan air dan api atau dupa.
Sebuah upakara atau banten memiliki beberapa fungsi yang menentukan tujuan pembuatan dan penggunaannya.
Fungsi banten yang pertama adalah menjadi simbolisasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan semua manifestasi Nya, seperti pada byakala simbol Dewa Brahma, durmenggala simbol Dewa Wisnu, dan prayascita simbol Dewa Siwa.
Terutama sebagai wujud rasa syukur umat Hindu atas pemberian kehidupan, anugerah, dan segala perlindungan pada alam semesta ini.
Fungsi banten yang kedua adalah wujud usaha untuk menyeimbangkan alam semesta, seperti nyomia bhuta kala agar tidak mengganggu.
Fungsi banten yang ketiga adalah sebagai persembahan seperti banten gebogan, ajengan, atau tipat kelanan.
Fungsi banten yang keempat adalah sebagai sarana permohonan, seperti sesayut tulus ayu, sida lungguh, anteng sakti, sida karya, sida purna, amerta dewa dan masih banyak lagi.
Fungsi banten yang kelima adalah sebagai sarana penyucian seperti pada banten byakala, durmanggala, prayascita, caru dan segehan.
Selain memiliki fungsi, banten juga memiliki makna seperti yang disebutkan dalam lontar yadnya prakerti.
Makna banten sebagai asta karaning yadnya memiliki makna yaitu bebantenan simbol diri kita.
Sehingga ada banten daksina, pejati, atau suci sebagai kepala, jerimpen sebagai simbol tangan, dada kiri terdapat pada banten pengambean, dada kanan banten peras, sesayut sebagai simbol perut, dapetan sebagai simbol puset, dan kaki adalah caru atau segehan.
Lantas mengapa ritual keagamaan Hindu di Bali memakai berbagai macam banten?
Keragaman ini ternyata juga dipengaruhi oleh jenis banten yang terbagi atas beberapa tingkatan.
Dari yang paling sederhana yaitu banten tingkat nista, yang dibagi menjadi nistaning nista, madyaning nista, dan utamaning nista.
Tingkat yang lebih tinggi dari banten tingkat nista adalah banten tingkat madya yang dibagi menjadi nistaning madya, madyaning madya, dan utamaning madya.
Kemudian ada juga banten tingkat utama yang dibagi menjadi nistaning utama, madyaning utama, hingga utamaning utama.
Namun yang terpenting adalah sikap hati yang tulus dan ikhlas dalam mempersembahkan banten sebagai upakara dalam sebuah upacara.
Sumber:
kemenag.go.id
bali.tribunnews.com
kesrasetda.bulelengkab.go.id
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.