DENPASAR, KOMPAS.com - Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra mengatakan, sembilan pemerintah kabupaten dan kota se-Bali telah sepakat menetapkan nilai pajak hiburan termasuk spa sebesar 10 hingga 15 persen.
Keputusan ini sebagai respons atas polemik penetapan tarif pajak hiburan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
"Kami berikan ruang kepada Pemda dan pelaku usaha untuk bersepakat sehingga hasilnya Pak Menteri (Parekraf Sandiaga Salahuddin Uno), ada yang menerapkan 10 persen, ada yang 15 persen, sudah di bawah 40 persen," kata dia dalam Seminar Nasional Implementasi UU HKPD Bagi Perkembangan Dunia Usaha Spa di Indonesia di Kabupaten Gianyar, Rabu (31/1/2024).
Baca juga: Polemik Pajak Spa 40 Persen di Bali, Sandiaga: Sedikit Dipolitisasi
Made Indra mengatakan, keputusan ini diambil setelah pemerintah provinsi Bali mengelar rapat bersama dengan pemerintah kabupaten dan kota untuk membahas isu kenaikan pajak tertentu ini pada Jumat (26/1/2024).
Dalam rapat tersebut, pemerintah kabupaten dan kota memberikan insentif fiskal sesuai Pasal 101 UU HKPD. Pasal ini memberikan ruang kebijakan untuk pemberian insentif fiskal guna mendukung kemudahan berinvestasi, berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan sanksinya.
Selain itu, kesepakatan ini juga berpegang pada Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No.900.1.13.1/403/SJ tentang Petunjuk Pelaksana Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Jasa Kesenian dan Hiburan Tertentu berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022.
Baca juga: Fakta Komplotan WN Meksiko Tembak WN Turkiye di Bali demi Rp 93 Juta
Rencananya, sembilan pemerintah kabupaten kota akan menerbitkan kebijakan terkait tarif pajak hiburan tertentu 10 sampai 15 persen ini paling lama pertengahan Februari 2024.
"Kami bersepakat bahwa seluruh pemerintah kabupaten dan kota se-Bali sepakat untuk tidak memberlakukan tarif 40-75 persen. Kami sepakat menggunakan instrumen kebijakan insentif fiskal," kata dia.
Polemik tarif pajak hiburan bermula dari amandemen tarif pajak hiburan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Salah satu muatannya menetapkan batas tarif pajak hiburan tertentu paling rendah sebesar 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Dalam aturan itu ditegaskan bahwa perubahan tarif ini hanya berdampak pada lima jenis jasa hiburan saja, yaitu diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.
Merespon hal ini, Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali dan sejumlah pengusaha spa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menolak kenaikan pajak tersebut.
Mereka menilai sektor spa bukan termasuk sektor hiburan, melainkan sektor kebugaran atau kesehatan yang dikembangkan berdasarkan kebudayaan lokal Bali.
Selain itu, sejumlah pengusaha tempat hiburan malam ikut mengajukan keberatan ke pemerintah pusat terkait kenaikan tarif pajak tersebut.
Besaran pajak tersebut berisiko mematikan industri pariwisata yang baru pulih dari dampak pandemi Covid-19, dan akan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja pada sektor industri hiburan di Bali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.