KOMPAS.com - Tenun Sumba lahir dari kekayaan alam di wilayah Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tenun Sumba adalah wastra atau kain tradisional yang diolah menggunakan pewarna alami.
Kain tradisional tersebut juga memiliki motif yang bernilai historis meskipun belakangan ini motif disesuaikan dengan keinginan pasar demi lestarinya wastra tersebut.
Motif Tenun Sumba yang lazim dibuat adalah motif flora dan fauna. Motif tersebut memiliki makna sesuai dengan karakter aslinya.
Motif buaya dipilih karena memiliki insting yang kuat, ditakuti, dan dikeramatkan oleh masyaratakt adat Sumba. Motif buaya biasanya digunakan untuk raja.
Makna motif kuda menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan. Hal tersebut karena kuda adalah simbol harga diri masyarakat Sumba.
Baca juga: Tenun Sumba, Kain yang Memberi Hidup
Berbagai motif tenun Sumba lainnya, yaitu motif ayam yang melambangkan kehidupan wanita, maupun motif burung (biasanya kakatua) melambangkan persatuan.
Pada kain kain kuno tenun Sumba dijumpai motif mahang atau singa, rusa, kura-kura, udang, dan hewan lainnya.
Tenun Sumba menggunakan pewarna alami yang awet hingga puluhan bahkan ratusan tahun.
Bahan pewarna alami tenun Sumba berasal dari akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah, daun nila untuk mendapatkan warna biru, dan lumpur untuk mendapatkan warna coklat.
Setiap pengrajin juga memiliki resep khusus untuk pewarnaan tersebut.
Mereka merahasiakannya karena dianggap sebagai ciri dan keunikan kain yang dihasilkannya.
Proses pengerjaan tenun Sumba cukup panjang. Selembar tenun Sumba membutuhkan waktu pengerjaan sekitar enam bulan hingga tiga tahun.
Ada berbagai tahapan yang harus dilalui, seperti pembuatan motif maupun proses peminyakan benang menggunakan bahan alami, seperti minyak kemiri.
Proses peminyakan supaya larutan warna merah yang berasal dari mengkudu dapat lebih meresap ke dalam benang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.