DENPASAR, KOMPAS.com – September 2024, I Wayan Sumada masih ingat betul bagaimana para pekerja saat itu mulai menggali, memasang batako, menembok beton, dan dengan sangat cepat memagari jalan depan rumahnya.
Dia dan warga lokal lainnya menyaksikan langsung beton-beton itu seketika mengurung mereka di tanah kelahiran sendiri.
Hanya tersisa celah kecil antara pagar rumahnya dengan tembok itu. Kira-kira hanya cukup dilewati oleh satu orang dewasa dengan posisi badan menyamping. Tembok-tembok itu seakan seperti tiang-tiang besi dalam sel yang memenjara Sumada dan keluarganya.
Baca juga: GWK Bali Putuskan Geser Beberapa Titik Tembok Pembatas di Selatan Pintu Masuk
“Tepat setahun lamanya. Seperti penjara rasanya,” ujar Sumada, Rabu (1/10/2025) di kediamannya, Desa Ungasan, Kabupaten Badung, Bali.
Di rumah itulah, Sumada lahir 36 tahun lalu, jauh sebelum GWK berdiri. Peletakan batu pertama GWK pada 8 Juni 1997.
Baca juga: GWK Bali Baru Bongkar Sebagian Tembok, Warga: Seharusnya Bisa Dibongkar Semua
Sumada menghabiskan masa kanak dan bertumbuh di sana. Tak pernah terbayangkan olehnya akan berada dalam situasi seperti itu. Tentu saja saat pemagaran berlangsung, Sumada tidak hanya diam begitu saja.
“Perdebatan (dengan pekerja) saat itu (proses pemagaran) ada. Cuma dari kami di sini, tidak bisa berdebat dengan pelaksananya. Saya sudah sempat berdebat dan saya disuruh menghadap manajemen langsung,” tutur warga Banjar Giri Dharma, Desa Ungasan ini.
Laki-laki yang sehari-hari bekerja di hotel itu memutuskan untuk tidak langsung menghadap ke manajemen. Namun dia menemui Kelian Adat, Kelian Dinas, hingga lanjut ke Desa Adat dan pemerintahan terkait.
Ketika sudah terkurung dan tak bisa lagi ke luar melalui pintu pagar rumahnya, Sumada akhirnya membongkar tembok halaman belakang rumahnya. Setidaknya dia dan keluarganya masih bisa keluar dan melanjutkan aktivitas. Satu tahun belakangan ini mereka melewati lahan milik orang lain.
“Setelah penembokan oleh pihak GWK, saya langsung bikin jalan keluar. Kalau saya tidak bikin jalan sendiri seperti ini, sekeluarga tidak bisa keluar. Aktivitas pun tidak bisa dilakukan normal seperti biasanya,” kata Sumada.