KOMPAS.com - Putu Eka Darmawan memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai bartender di sebuah kapal pesiar Amerika Serikat, pada 2016 silam. Dia kemudian kembali ke kampung halaman di Buleleng, Bali, untuk “menjadi pemulung” dan berkutat dengan sampah plastik. Kini, Eka telah membuat berbagai produk daur ulang plastik, mulai dari furnitur, bahan konstruksi dan interior, hingga campuran aspal dan produk fesyen.
Suara mesin pencacah sayup-sayup terdengar dari lahan seluas 700 m2 di Desa Petandakan, Buleleng, Bali.
Di lahan yang diapit sawah dan jauh dari permukiman warga itu terlihat tumpukan karung berisi sampah plastik sejauh mata memandang.
Karung-karung yang beratnya masing-masing mencapai 40 kilogram tersebut tumpang tindih hingga menyerupai tembok.
Baca juga: Di Balik Video Viral Warga Sumedang Dihadiahi Sampah yang Dibuangnya
Di sudut lain, segala rupa plastik, dari wadah hingga botol bekas, teronggok begitu saja menunggu untuk diolah.
Kontras dengan pemandangan sampah plastik itu, di dalam bangunan semi terbuka yang terletak di tengah area terdapat jajaran kursi tanpa sandaran dengan warna-warni mencolok menyerupai motif marmer, campuran warna kuning, biru dan putih.
Putu Eka Darmawan, 34 tahun, adalah pendiri tempat yang dinamai Rumah Plastik Mandiri itu.
“Saya sekarang jadi pemulung, dan saya bangga,” katanya sembari duduk di atas salah satu kursi tersebut.
Delapan tahun lalu, Eka memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai bartender di sebuah kapal pesiar di Amerika Serikat. Setelah menikah, dia ingin menetap di kampung halamannya di Buleleng.
“Sisa uang pernikahan dalam rekening saya benar-benar Rp25 juta,” kenangnya.
Baca juga: Truk Sampah di Kota Bogor Disebut Tak Dapat Peremajaan Bertahun-tahun, padahal Berusia Tua
Kala itu, menurut Eka, satu-satunya bisnis yang paling masuk akal dengan modal terbatas adalah mengolah sampah plastik yang ada di lingkungan sekitar. Apalagi, sekitar 30 menit perjalanan dari rumah Eka terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bengkala.
“Bisnis saya dapat, karma saya di [kehidupan] sosial juga dapat. Idealisme saya bertemu di sana dan saya temukan itu di sampah plastik," ungkap Eka.
Namun, Eka segera dihadang dengan kesulitan biaya. Harga berbagai mesin yang diperlukannya untuk mengolah sampah plastik menjadi benda bernilai jual mencapai belasan juta rupiah.
Lagi-lagi, Eka harus putar otak.
“Karena saya tidak bisa beli, saya pelajari konsepnya, saya bikin sendiri. Saya download banyak video di YouTube,” kata Eka.
Baca juga: Pembersihan Sampah di Sungai Citarum Diperluas 500 Meter ke Timur dan Barat
Eka juga mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat mesin-mesin itu sendiri - dari bengkel ke bengkel hingga dari para pemulung. Berkali-kali mesin rakitannya gagal saat uji coba.
“Percobaan pertama di tahun kedua, percobaan mesin kedua itu di tahun kelima, percobaan ketiga itu di tahun keenam. Nah di percobaan itulah pada akhirnya berhasil,” katanya.
Kini, di Rumah Plastik Mandiri terdapat sembilan alat daur ulang plastik yang didesain Eka dan dirakit para teknisi dari bengkel-bengkel terdekat.
Ada dua mesin penggerak yang diambil dari mesin truk dan L300; tiga buah alat pencacah; satu mesin pengering cacahan; satu mesin blower; dan satu mesin pelebur.
Berkat mesin-mesin itu, Eka dan enam pekerja lainnya di Rumah Plastik Mandiri mampu mengolah sekitar dua ton sampah plastik per hari.
Baca juga: Banyak Perusahaan Belum Susun Peta Jalan Pengurangan Sampah
Di tempat ini pula, Eka biasa menerima tetamu yang datang untuk mempelajari konsep hilirisasi sampah plastik yang dijalankannya.
Siang itu, lima pekerja - salah satunya adalah ayah Eka - memasukkan plastik yang telah dicacah ke mesin pengering bersuhu lebih dari 200 derajat Celsius.
Dari situ, plastik kemudian dicetak menjadi papan berukuran 100x50cm dengan tebal sekitar 1,4cm.
“Papan plastik itu digunakan sebagai pengganti kayu. Saat ini sedang booming, banyak permintaan untuk digunakan sebagai furnitur,” terang Eka.
Baca juga: Dalam Sehari, 13 Ton Sampah Diangkut dari TPS Pasar Merdeka Bogor
Eka sendiri telah mengekspor lembaran-lembaran kayu ini Malaysia, Taiwan, hingga Spanyol. Sekali kirim, Eka bisa mengapalkan hingga ratusan lembar papan plastik. Per lembarnya, Eka mematok harga Rp350.000.
“Sudah ada beberapa negara yang kita masuki, dan sekarang sedang penjajakan masuk ke Jepang,” kata Eka, seraya menambahkan bahwa permintaan dari luar negeri masih belum stabil.
Oleh sebab itu, Eka pun dituntut kreatif. Selama delapan tahun menggeluti sampah plastik, Eka telah berhasil membuat bermacam benda daur ulang, mulai dari furnitur, bahan konstruksi dan interior, hingga campuran aspal dan produk fesyen.
Dengan bangga Eka menunjukkan jam tangan daur ulang yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam ini adalah purwarupa produk fesyen yang akan dia luncurkan dalam waktu dekat.