“Kami sedang mencoba. Cita-citanya kalau sudah sempurna baru akan kami jual,” ujarnya.
Baca juga: Tumpukan Sampah di TPS Pasar Merdeka Bogor Sudah Dibersihkan
Bengkel motor milik Luh Putu Suarsini di Jalan Gempol, Banyuning, Buleleng, setiap hari melayani sekitar 50 pemotor. Di sudut bengkel yang tak pernah sepi pengunjung itu, Putu dan suaminya mengumpulkan berbagai sampah plastik. Yang terbanyak adalah botol plastik wadah oli.
“Kadang botol bekas minuman orang juga saya kumpulkan,” kata Putu.
Secara berkala, tim Rumah Plastik Mandiri akan datang ke bengkel Putu dan menukar sampah yang dikumpulkannya dengan uang. Sekali tukar, Putu berkata bisa mendapat imbalan Rp100 ribu.
“Anak-anak selalu minta uang jajan sebelum berangkat sekolah. Uang hasil penjualan sampah plastik itu untuk menambah uang jajan anak,” kata Putu.
Baca juga: Yogyakarta Darurat Sampah, Masjid Gedhe Kauman Sediakan Terpal untuk Alas Shalat Idul Adha
Selain ke bengkel Putu, tim Eka juga rutin menjemput sampah plastik di rumah atau tempat usaha warga Banyuning. Hasil olahan botol-botol oli pun kemudian bisa diubah menjadi produk bernilai ekonomi.
Salah satu karya Eka dan timnya kini berada di Panamena Coffee & Eatery di Singaraja, Kabupaten Buleleng. Mulanya, pemilik kafe tersebut, I Gede Mulya Pradipta, penasaran dengan furnitur serupa yang pernah ia lihat di sebuah beach club tersohor di Bali.
Dia tidak pernah tahu bahwa produsen furnitur dari sampah plastik itu ternyata warga Singaraja, satu daerah dengannya.
“Seiring berjalannya waktu, ternyata ketemu, dia [Eka] orang Singaraja. Produksinya di Singaraja, produksi barang yang sama,” ungkap Mulya.
Baca juga: Sampah Plastik Idul Adha Tahun 2024 Diperkirakan Tembus 608 Ton
Mulya lantas membeli satu set furnitur Eka senilai Rp8 juta untuk kafenya, harga yang dirasa wajar untuk pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) seperti dirinya. Ditambah lagi, dia mendapat jaminan perawatan gratis dari Eka.
Kepada muda-mudi Singaraja yang berkunjung ke kafenya, Mulya dengan bangga memamerkan meja “sampah plastik” karya warga lokal.
“Ketika saya bilang produk yang kalian duduki ini berasal dari sampah, itu bisa memicu mereka,” kata Mulya.
"Orang-orang di Singaraja jadi punya harapan, karena barang keren ini sumbernya dari rumah kita sendiri."
Ini berarti, ada 4.367.480 ton sampah plastik per tahun. Sampah plastik sebanyak itu, setara dengan berat lebih dari 500.000 truk kontainer.
Di Bali, menurut Bali Partnership, sebuah kelompok kerja dari pemerintah daerah hingga akademisi, diperkirakan ada sekitar 303.000 ton sampah plastik setiap tahunnya.
Bagi Eka, ini berarti bahan baku untuk usaha seperti miliknya melimpah ruah. Namun berdasarkan pengalamannya, dulu sampah plastik seolah memiliki kasta.
“Ada sampah plastik yang kastanya tinggi, ada sampah plastik yang kastanya rendah, bahkan ada yang tidak punya kasta. Itulah yang membuat masalah sampah plastik tidak kelar-kelar,” tutur Eka.
Baca juga: Yogyakarta Darurat Sampah, Masjid Gedhe Kauman Sediakan Terpal untuk Alas Shalat Idul Adha
“Kasta” sampah plastik yang dimaksud Eka adalah golongan sampah plastik berdasarkan tingkat kesulitan dalam pengolahan dan nilai ekonomi ketika dijual ke tempat pengolahan sampah.
Jenis plastik PET atau Polyethylene Terephthalate, yang lazim digunakan sebagai bahan dasar produk komersial seperti botol air minum kemasan tergolong mudah diolah. Ketika dihancurkan dan diolah plastik PET dapat menjadi kain polyester, dakron isi bantal, dan karpet.
Sementara jenis plastik HDPE atau High-Density Polyethylene yang lebih tebal dari plastik PET, tergolong lebih mudah didaur ulang dan diterima di hampir seluruh pusat daur ulang di dunia.
Keduanya dianggap memiliki "kasta” lebih tinggi.
Sementara, jenis plastik yang tergolong “plastik yang kastanya rendah”’ adalah LDPE atau Low-density Polyethylene seperti kantong plastik karena sulit didaur ulang.
Baca juga: Sampah Organik Disulap Jadi Pupuk, Bantu Pangkas Emisi Gas Rumah Kaca
Masalah kasta sampah plastik ini pernah dirasakan Eka saat mulai membangun Rumah Plastik Mandiri. Pada awalnya, usaha Eka fokus pada pengumpulan sampah plastik yang kemudian dikirim ke industri pengolahan di Pulau Jawa.
Kala itu, industri daur ulang menolak untuk mengolah sampah plastik berkasta rendah yang dikumpulkan oleh masyarakat. Alhasil, Eka harus menombok dan merogoh kocek dalam-dalam untuk menebusnya.
Padahal, belakangan Eka menemukan bahwa kantong plastik pun bisa bernilai ketika diolah menjadi bahan campuran aspal.
Baca juga: Beri Efek Jera, Warga Mendungan Yogyakarta Pajang Foto Pembuang Sampah Sembarangan di Jalan
Pada 2023, Eka mengolah 25 ton cacahan sampah plastik untuk campuran aspal yang digunakan untuk pembangunan dua ruas jalan di Bali. Kala itu, permintaan datang dari Dinas Pekerjaan Umum setempat.
Tahun ini, sekitar 35 ton cacahan sampah plastik olahan Eka dipakai untuk membangun satu ruas jalan di Kabupaten Buleleng.
“Butuh ratusan tahun bagi alam untuk mengurai sampah plastik. Pertanyaannya, mengapa [plastik] yang dibuat industri tidak diselesaikan oleh industri? Mengapa alam yang harus menyelesaikannya?” tanya Eka.