Laki-laki berusia 45 tahun ini mengaku mengonsumsi daging penyu ketika ada “upacara-upacara besar di pura”.
“Dulu memang lazim untuk menggunakan penyu sebagai sesajen dalam upacara-upacara dan yang dipakai adalah penyu-penyu ukuran besar,” kata Wayan.
Namun, sekarang kondisinya sudah berubah. Dia bilang penyu tidak boleh lagi dikonsumsi dan hanya dipakai untuk upacara pekelem, itupun yang berukuran kecil.
Upacara pekelem merupakan upacara ruwatan untuk laut, gunung, dan Bumi.
“Sebenarnya tidak cuma penyu saja yang dipakai. Kadang hewan-hewan jenis lain juga dipakai,” ujar bapak satu anak itu.
Untuk ruwatan bumi, kata Wayan, penyu akan disembelih lalu ditanam atau dikubur. Sedangkan untuk ruwatan laut, penyu akan dilepaskan ke laut dalam keadaan hidup.
Untuk ruwatan gunung, penyu juga akan dilepaskan begitu saja.
Baca juga: Penyu Lebar 1 Meter Ditemukan Mati di Parangkusumo Bantul
Dari hasil investigasi Yayasan ProFauna Indonesia pada 1999, sekitar 9.000 ekor penyu diperdagangkan di Bali hanya dalam kurun waktu 4 bulan, dari Mei hingga Agustus, dengan pusat perdagangan penyu yang berada di Tanjung Benoa.
Rosek Nursahid meyakini penggunaan penyu untuk komersil lebih banyak dibandingkan untuk upacara adat—yang paling tidak menggunakan satu penyu sebagai simbol.
Bahkan menurut beberapa pedanda—ulama/pendeta agama Hindu— yang ditemui Rosek, pemanfaatan penyu dalam upacara hanya dilakukan pada saat Upacara Tawur Agung yang dilakukan seratus tahun sekali dan itu pun “bisa diganti”.
“Kenapa setiap tahun selalu ada puluhan penyu yang masuk? Berarti bukan untuk kepentingan adat atau upacara. Berarti untuk kepentingan komersil yang dipakai untuk sate, untuk lawar, yang dijual terutama di Denpasar Selatan… sampai ke Benoa,” ujar Rosek.
Baca juga: Cerita Nelayan di Sikka, Selamatkan Penyu Belimbing yang Tersangkut Pukat
Di kalangan masyarakat Bali, daging penyu umumnya diolah menjadi sate atau campuran lawar, makanan khas Bali sejenis urap.
Wayan mengaku meski dirinya paham penyu hijau adalah termasuk satwa yang dilindungi.
Dia pun masih mau mengonsumsinya jika bisa menemukan warung yang menjual olahan daging penyu.
“Tapi memang sulit mencari warung yang menjual daging penyu. Dan kalaupun ada, sebenarnya sulit untuk membedakan apakah benar yang mereka jual adalah daging penyu atau daging babi biasa karena rasanya yang mirip,” ujar Wayan.
Meski mengaku terakhir kali mengonsumsi daging penyu puluhan tahun lalu, Wayan masih ingat rasa dan tekstur hewan yang dilindungi itu.
“Rasanya enak. Mirip daging babi panggang, tapi lebih banyak lemaknya.”
Baca juga: TNI AL Telusuri Dugaan Penyelundupan 43 Ekor Penyu Hijau di Perairan Jembrana
Namun, beberapa dekade terakhir WWF Indonesia mengatakan angkanya telah “berkurang dibanding dulu”.