DENPASAR, KOMPAS.com – Bali, pulau yang dijuluki surga dunia, ternyata menyimpan luka di balik pesonanya. Angka bunuh diri di sini tergolong tinggi, bahkan mengkhawatirkan.
Dalam seminggu terakhir saja, kabar duka datang bertubi-tubi: seorang sopir travel di Kerobokan, Kabupaten Badung, dan seorang ibu rumah tangga di Tabanan mengakhiri hidup mereka.
Apa yang sebenarnya terjadi di balik gemerlap Pulau Dewata?
Dokter spesialis kedokteran jiwa, dr. I Gusti Rai Putra Wiguna SpKJ mengungkapkan, budaya “megendu rasa” atau curhat masih asing bagi masyarakat Bali.
Banyak yang memilih memendam beban emosional, hingga akhirnya terjebak dalam keputusasaan.
“Pak Gubernur sedang menyusun Panduan Pola Hidup Sehat dan Bahagia. Kami sudah mengusulkan megendu rasa agar dimasukkan, termasuk ekspresi seni untuk bahagia,” ujar dr. Rai, Jumat (23/5/2025).
Baca juga: Tinggi Angka Bunuh Diri, Bali Diberi 4 Rekomendasi Solusi
Sebagai pendiri Bisa Helpline, layanan bantuan kesehatan mental, dr. Rai mengaku berupaya mencegah kasus bunuh diri.
Ia menyoroti bahwa faktor seperti kualitas hidup, tekanan sosial-ekonomi, hingga kesehatan mental menjadi pemicu utama.
Kelompok yang paling rentan? Remaja, lansia, penyandang disabilitas, penyintas gangguan jiwa, kelompok minoritas, hingga mereka yang hidup dengan penyakit fisik kronis.
Data tahun 2023 mencengangkan: Bali mencatat angka bunuh diri tertinggi di Indonesia, yakni 3,07 per 100.000 penduduk—hampir dua kali lipat dari provinsi peringkat kedua.
Riskesdas 2018 juga mengungkap bahwa Bali memiliki prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia.
Sayangnya, kurang dari setengah penderita gangguan jiwa yang menjalani pengobatan rutin.
Dr. Rai mengaku pernah menggagas brainstorming lintas sektor untuk mencari solusi, namun sayangnya, rekomendasi yang diajukan belum banyak diadopsi oleh pemimpin Bali.
Padahal, langkah konkret seperti membuka ruang curhat atau memanfaatkan seni sebagai terapi bisa menjadi jalan keluar.
Di balik pantai indah dan budaya yang memikat, Bali menyimpan tantangan besar dalam kesehatan mental.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang