DENPASAR, KOMPAS.com - Rencana Bali membangun Mass Rapid Transit (MRT) mendapat beragam respons dari masyarakat.
Tidak sedikit yang mempertanyakan, benarkah proyek itu menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan?
Pertanyaan itu muncul sebab Bali belajar dari Jakarta yang dianggap lebih berpengalaman dalam pembangunan MRT. Sementara kemacetan di Jakarta saja masih terus terjadi, walau sudah memiliki MRT.
Penulis Mega Arnidya yang lama di Jakarta dan kini memilih berkarier di Bali, mengatakan dia tidak sependapat dengan rencana itu.
Baca juga: Bali Rencana Bangun MRT, Warga: Harus Beri Manfaat untuk Orang Lokal
Mengapa? Sebab dari segi wilayah saja, luas Pulau Jawa dan Pulau Bali sangat berbeda.
"Jakarta walau udah ada MRT pun tetap macet, karena ruas jalan protokol yang overloaded dan terpotong banyak area dengan Transjakarta," ucapnya, Selasa (24/6/2025).
Dia juga menekankan MRT tidak cukup menjangkau area sub-urban ke rural. Dengan begitu, masih tetap perlu mencari transportasi lain atau menggunakan kendaraan pribadi.
"Belajar dari Rano Karno ya gak tepat. Proses proyek Transjakarta itu dari zaman Bang Yos, Foke, Jokowi, lalu Ahok."
"Proyek MRT itu Jokowi dan Ahok, kalau mau belajar ya langsung ke Ahok, Rano Karno gak tau apa-apa soal proses end-to-end-nya," tegasnya.
Sebagaimana diketahui, proses penandatanganan kesepakatan awal antara Bali dan Jakarta untuk proyek MRT, dilakukan di Bali belum lama ini.
Baca juga: Bali Siap Bangun MRT, Jakarta Jadi Konsultan dan Pendamping
Dilakukan saat pertemuan antara Gubernur Bali, I Wayan Koster dan Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno.
Perempuan yang kerap disapa Mpok Gaga tersebut menilai, apabila Bali ingin membenahi kemacetan, sesungguhnya bisa memaksimalkan transportasi publik yang sudah ada.
Selain itu, armada Metro Trans Dewata bisa dirancang sampai ke rural area, terutama area Timur dan Barat. Selama ini yang banyak diberi akses hanya Bali Selatan dan Utara saja.
Adapun MRT yang dibangun, rencananya akan menghubungkan Bandara Ngurah Rai dengan daerah pariwisata lainnya di Bali.
"Sistem transportasi publik yang terintegrasi itu sudah berjalan dengan Trans Dewata. Itu saja dulu dimaksimalkan, dana proyek maksimalkan ke situ, bukan malah nambah pembangunan baru," ungkapnya.
Sementara itu, Mery, warga yang tinggal di Denpasar, menekankan jika memang akan berlangsung pembangunan MRT, diharapkan memikirkan alur lalu lintas yang sudah ada.
"Karena pasti akan berdampak pada kemacetan yang lebih parah. Mengingat tujuan utamanya buat pariwisata, pasti melalui area wisata yang sudah ada," ungkapnya.
Baca juga: Berencana Bangun MRT untuk Atasi Kemacetan, Gubernur Bali Berguru ke Jakarta
Dia pun tidak setuju jika tujuan utama pembangunan MRT hanya memfasilitasi wisata saja.
Seharusnya proyek ini menjadi solusi transportasi umum yang memadai untuk siapa pun tinggal di sini.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kemacetan di Bali yang semakin panjang menuai sorotan dan kritik dari berbagai pihak.
Tidak hanya wisatawan yang mengeluh. Warga lokal pun merasa terganggu dan dirugikan.
Menyikapi kondisi ini, Koster mengaku Pemprov Bali berkomitmen memecahkan permasalahan kemacetan di Bali. Solusi yang ditawarkan salah satunya adalah melalui pembangunan MRT.
“Kami sangat butuh fasilitas MRT ini karena di Bali pembangunan jalan di atas tidak boleh. Kiri-kanan sudah rapat, bukan sekadar rumah biasa tapi bagunan pura dan segala macam," jelas Koster di Denpasar, Jumat (13/6/2025).
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang