DENPASAR, KOMPAS.com – Musim hujan di Bali diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Januari hingga Februari 2026.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) RI, Dwikorita Karnawati, menyampaikan bahwa curah hujan pada musim ini berpotensi tinggi.
Kondisi tersebut dapat memicu bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.
Karenanya pemerintah daerah, instansi teknis, serta masyarakat diingatkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan.
“Penting dilakukan pemetaan wilayah rawan banjir bandang, pemeriksaan dini aliran sungai di kawasan perbukitan, serta penataan kembali badan sungai yang mengalami pendangkalan atau penyempitan,” ujar Dwikorita saat bertemu Gubernur Bali, I Wayan Koster di Denpasar, Rabu (8/10/2025).
Baca juga: Ruko di Pasar Badung yang Ambruk Akibat Banjir, Kini Rata dengan Tanah
Dia meminta agar segala bentuk aktivitas penggalian di lereng perbukitan dihentikan.
Khususnya di daerah yang memiliki potensi longsor tinggi guna mencegah risiko bencana yang lebih besar.
“Segera evakuasi ke tempat yang lebih tinggi bila ada tanda-tanda banjir bandang, seperti air sungai yang naik cepat, suara gemuruh, atau bau lumpur yang menyengat,” tegasnya.
Baca juga: Gubernur NTB Tinjau Dampak Banjir di Lombok Timur, Dorong Pembentukan Awik-awik
Menanggapi pernyataan itu, Koster meminta Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali untuk memetakan daerah rawan banjir dan longsor.
Selain itu juga melakukan mitigasi dan evaluasi terhadap daerah aliran sungai (DAS) dari hulu hingga hilir.
“Langkah-langkah ini meliputi normalisasi sungai, penanaman kembali kawasan gundul, audit terhadap empat DAS besar yaitu Ayung, Badung, Mati, dan Unda, serta penertiban bangunan yang melanggar tata ruang di bantaran sungai,” jelas Koster.
Bali sesungguhnya telah memiliki Peraturan Gubernur Bali Nomor 25 Tahun 2024 tentang Kajian Risiko Bencana Provinsi Bali 2025–2029.
Pergub tersebut mencakup kebijakan pembangunan yang berisiko bencana, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
“Dengan adanya peta risiko dan peta kerentanan, pemerintah dapat lebih cepat dan tepat mengambil keputusan mitigasi serta memperkuat kapasitas daerah untuk memperkecil kerugian akibat bencana,” tambah Koster.
Baca juga: 3 Kabupaten di Kalteng Berisiko Terdampak Banjir Paling Besar, Mana Saja?
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (MKG) Wilayah III, Cahyo Nugroho, pada Selasa (30/9/2025) malam sempat mengumumkan adanya potensi banjir pesisir (rob) di wilayah pesisir Bali.
Melalui akun resmi BMKG Bali, Cahyo menjelaskan adanya fenomena fase Perigee pada tanggal 7 Oktober 2025 dan Bulan Baru pada tanggal 7 hingga 11 Oktober 2025, berpotensi meningkatkan ketinggian air laut maksimum.
"Berdasarkan pantauan data water level dan prediksi pasang surut, banjir pesisir (rob) berpotensi terjadi di beberapa wilayah pesisir Bali, di antaranya pesisir Gianyar, Kuta, Tabanan, Klungkung, dan Karangasem," ungkap Cahyo.
Baca juga: Potensi Kerugian Akibat Banjir di Kalteng Capai Rp 25,71 Triliun, Kerusakan Fisik hingga Ekonomi
Potensi banjir rob ini disebut berbeda waktu, baik hari maupun jamnya di setiap wilayah.
Namun secara umum, akan berdampak pada aktivitas masyarakat di sekitar pelabuhan dan pesisir.
Misalnya untuk aktivitas bongkar muat di pelabuhan, di pemukiman pesisir, serta tambak garam dan perikanan darat.
"Masyarakat diimbau untuk selalu waspada dan siaga untuk mengantisipasi dampak dari pasang maksimum air laut serta memperhatikan update informasi cuaca dari BMKG," tambahnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang