DENPASAR, KOMPAS.com - Wayan Rusmini (37) akhirnya bisa bernapas lega. Bertahun-tahun hidup dalam kekeringan, kini sudah mendapatkan akses air yang layak.
"Sejak air mengalir, saya bisa menghemat pengeluaran. Nabung untuk keperluan dapur dan sekolah anak. Kalau dulu jarang merasakan daging ayam, sekarang sudah bisa nambah-nambah isi dapur," kata Rusmini, Jumat (2/5/2025).
Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai petani di Konyel, Kintamani, Kabupaten Bangli ini, sejak lahir hidup dalam kekeringan. Perubahan hidupnya terjadi sejak air mengalir di kediamannya, tepat satu tahun lalu, Mei 2024.
Baca juga: Kecelakaan Maut di Turunan Kintamani Bali, Prajurit TNI Meninggal
Dulu, apabila Rusmini ingin mencari air, dia harus menyusuri medan yang sulit, curam, dan terjal.
Rusmini masuk ke dalam hutan untuk menemukan sumber air.
Ketika kembali ke rumah, tak banyak pula air yang bisa dia angkut, maksimal hanya dua jeriken.
Baca juga: Menparekraf Sebut Serangan Lalat di Kintamani Dampak Ekonomi Hijau
Kadang semua itu dia jalani malam ini, sepulang dari bekerja di ladang. Keadaan membuatnya mengabaikan rasa takut.
Air yang dikumpulkan dia manfaatkan sebaik mungkin hanya untuk keperluan yang benar-benar mendesak dan utama.
Apabila badan lelah dan tak sanggup mencari air, dia terpaksa menggunakan tampungan air hujan atau membeli. Itu pun harganya sangat mahal.
Dalam sebulan, hampir Rp 500.000 dia keluarkan hanya untuk memenuhi kebutuhan air.
Kondisi yang dialami Rusmini dan masyarakat Konyel ini sangat ironi.
Lokasi tempat mereka tinggal tidaklah terpaut jauh dari area obyek wisata Kintamani, tempat puluhan coffee shop mewah dibangun.
Apabila berkendara sepeda motor, tak lebih dari 10 menit. Tapi, mereka justru kesulitan air.
Terlebih, Bangli adalah daerah penyuplai air terbesar di seluruh Bali.
Setelah berpuluh-puluh tahun menjalani hidup seperti itu, akhirnya tahun lalu, atas bantuan LBH Bali Women Crisis Centre dan pendanaan dari Konsulat Jenderal Australia, Rusmini bisa merasakan air segar mengalir ke rumahnya.