Editor
"Uang-uang transaksinya relatif kecil, ada Rp 2 juta, Rp 5 juta. Itu kemudian ditransfer ke beberapa rekening, kemudian lagi ditransfer ke rekening lain. Dan itu kami selidiki dan ada indikasi dugaan eksploitasi seksual terhadap anak,” katanya.
Baca juga: Korban Prostitusi Anak di Surabaya Mengaku Dianiaya Muncikari
Model kejahatan ini pun dilakukan dengan sistem online maupun sistem konvensional di mana ada seorang mucikari yang mengumpulkan anak-anak, kemudian membuat video sesuai pesanan konsumen.
Dalam kasus tersebut, ada tiga negara terbesar di ASEAN. Indonesia termasuk di dalamnya selain Thailand dan Filipina.
Untuk itu, perlu antisipasi yang melibatkan semua pihak, mulai dari orang tua maupun lingkungan.
Ia mengatakan, PPATK bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait telah melaksanakan Focus-Group Discussion guna memformulasikan draf Concept Note dan Kuesioner yang akan bermuara pada output berupa dokumen indikator red flag transaksi keuangan mencurigakan yang berkaitan dengan kejahatan eksploitasi seksual anak.
Proses ini akan melibatkan partisipasi aktif penyedia jasa keuangan yang terdiri dari perbankan, penyelenggara transfer dana (money remittance), penyelenggara dompet elektronik (e-wallet), dan pedagang fisik aset kripto (exchanger), termasuk juga lembaga intelijen keuangan, penegak hukum dan pakar di bidang anti-eksploitasi seksual anak.
Draf pertama dokumen ditargetkan selesai pada November 2024.
Sementara itu, ECPAT Indonesia telah mengidentifikasi ada 26 anak yang telah menjadi korban eksploitasi seksual di ranah dalam jaringan menggunakan transaksi live streaming untuk tujuan seksual dengan menggunakan platform digital pembayaran (Financial Technology) seperti e-wallet dan bentuk pembayaran lainnya yang tersedia di platform tersebut.
Baca juga: 7 Orang di Surabaya Ditangkap karena Terlibat Prostitusi Anak
"Ada tiga jenis mata uang sebagai alat transaksi yang digunakan yaitu rupiah (Rp), dollar amerika (US$) dan Euro (Є), dengan kisaran besaran tarif paling rendah adalah jenis prostitusi sedangkan tarif tertinggi terdapat pada penawaran live streaming untuk tujuan seksual, yang berkisar antara 100 ribu rupiah hingga 5 juta rupiah,” kata Ahmad Sofian dari ECPAT Indonesia.
Selain itu, pihaknya juga menemukan ada kasus live streaming kekerasan seksual anak yang menggunakan modus top up dari game online. Korbannya mereka yang berusia muda dan sekolah di sekolah menengah pertama (SMP).
Sementara itu, Fachrizal Afandi dari Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminolog (ASPERHUPIKI) mengatakan kejahatan ini berjejaring serta rapi dengan jangkauan internasional.
Ia tak menampik Indonesia kadang terlambat menyadari hal ini. Meskipun demikian, hal tersebut ini belum terlambat untuk ditangani.
Fachrizal Afandi menambahkan, dalam forum ini akan ditampilkan 58 makalah yang dipresentasikan peneliti, dosen, hukum, hingga PPATK. (Putu Supartika/Tribun Bali)
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang