BADUNG, KOMPAS.com - Kondisi sungai Tukad Mati, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, yang penuh sampah pada era 1990-an mendorong , I Nyoman Sukra (50), untuk bergerak.
Pria yang akrab disapa "Pak Dolpin" ini membentuk kelompok nelayan untuk ikut menanam mangrove dan merevitalisasi sungai Tukad Mati.
Buah upaya mereka kini bagai perisai yang menyelamatkan kawasan Kuta dan sekitarnya,
yang merupakan jantung pariwisata Bali, luput dari bencana banjir di musim penghujan.
Di sisi lain, perubahan itu juga telah membawa Dolpin mendapat penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan pada tahun 2019.
"Sungai ini setelah perkembangan para wisata Kuta, sekitar tahun 90-an, dijadikan TPA (tempat pembuangan akhir) liar, dijadikan tempat pembuang atau sipiteng liar, dan di mana hutan mangrovenya juga rusak," kata Dolpin saat ditemui di Kuta, pada Rabu (4/6/2025).
Baca juga: 2 Kadis Kena Semprot karena Kinerjanya Lamban, Koster: Kadis Koperasi Saya Baru Tahu Juga Orangnya
Lahir dan tumbuh besar di Kuta membuat Dolpin sangat perihatin dengan kondisi sungai tersebut.
Dia pun meninggalkan usahanya di bidang pariwisata agar bisa terjun langsung mengatasi permasalahan itu.
Sebab, sampah di sungai tersebut tidak hanya menyebabkan banjir tetapi juga membuat hutan magrove mati.
Sekitar tahun 2001, Dolpin pun memulai dengan membentuk kelompok nelayan untuk mengadvokasi normalisasi sungai Tukad Mati.
"Kebetulan Tukad Mati ini merupakan benteng terakhir dari gempuran banjir di kawasan pariwisata Kuta, Legian, Seminyak, termasuk juga Monangmaning merupakan wilayah Denpasar," kata dia.
Baca juga: Gubernur Koster: 400 Biro Perjalanan dan Sewa Mobil Dikuasai Warga Asing tapi Tak Berkantor di Bali
"Karena ini merupakan muara, muara dari sungai-sungai besar yang melintas dari Badung dan Denpasar," tambahnya.
Dolpin memiliki kepekaan terhadap sungai juga karena terinspirasi dari sang ayah, dan filosofi Tri Hita Karana, ajaran agama Hindu tentang menjaga keharmonisan Tuhan, manusia dan alam.
Bahkan, warga juga menjulukinya sebagai Dolpin karena sejak remaja sering menyelematkan turis asing yang hampir tenggelam di Pantai Kuta.
Namun, sebelum terjun ke dunia aktivis lingkungan Dolpin terlebih dahulu memastikan keluarganya telah mapan secara ekonomi.
Baginya, menjadi aktivis lingkungan bukan untuk mencari popularitas apalagi uang.
"Saya punya motto agak berbeda dengan apa yang sering dielukan. Sejahtera dulu baru kita ngurus lingkungan," kata dia.
Baca juga: Gubernur Koster: Saya Minta Produksi Air Minum Kemasan di Bawah 1 Liter Disetop
Dolpin mengaku kegiatannya ini juga tidak luput beberapa tantangan.
Bahkan, sejumlah warga juga sempat menolak terlibat karena kegiatannya dianggap hanya untuk mencari simpatisan partai politik.
Namun, suara-suara cibiran itu lambat laun menghilang karena melihat Dolpin tanpa henti terjun langsung menanam mangrove dan membersihkan sampah di sungai tersebut.
Saat ini, hutan mangrove di kawasan tersebut semakin luas dan dipadati beberapa satwa serta bebas dari pembalakan liar karena sering diawasi masyarakat setempat.
Tak hanya itu, bantaran sungai tersebut juga ditanami berbagai macam pohon yang buahnya biasanya digunakan untuk upacara keagamaan di Bali.
"Ketika kami melakukan kegiatan lingkungan di kawasan muara tukad Mati, itu hutan mangrove yang kami selamatkan yaitu sekitar 12 hektare, sekarang sudah hampir mendekati sekitar 25 hektare," kata dia.
Dolpin tak mengelak bahwa kawasan Kuta dan sekitarnya beberapa waktu belakangan kerap terjadi banjir saat musim hujan.
Namun, biang kerok kejadian itu bukan karena sungai Tukad Mati mampet oleh sampah, tetapi kerena adanya alih fungsi lahan di area yang dulu menjadi serapan air.
Perjuangan Dolpin belum selesai. Kegigihannya menyuarakan tentang kebersihan sungai dan menjaga kelesatrian alam juga menyebar di sejumlah daerah di Pulau Dewata.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang