DENPASAR, KOMPAS.com – Saat masih muda, belum memasuki kehidupan rumah tangga, Ni Wayan Rasmini (37) tak harus memikirkan banyak hal.
Cukup mendengarkan nasehat dan perintah orang tua serta memenuhi keperluan diri sendiri.
Namun semuanya berubah ketika perempuan asal Kintamani, Kabupaten Bangli ini menikah dan dikaruniai anak.
Baginya kehidupan masa lajang dan menjadi seorang ibu, sangatlah berbeda.
"Sekarang saya sudah merasakan bagaimana menjadi ibu. Dulu saya adalah anak dan sekarang saya jadi ibu. Menjadi seorang ibu berat, stamina dan mental harus kuat," tuturnya, Senin (1/12/2025) pagi.
Rasmini dan suaminya sehari-hari bekerja sebagai petani. Dia mengatakan kecemasan terbesarnya ketika anak-anak masih kecil dan harus sering dia tinggal pergi ke kebun.
Baca juga: Cerita Ibu Ike, Caregiver Pertama di Sumenep yang Menjadi Sandaran Para Lansia
Biasanya dia akan bangun pukul 06.00 Wita, lalu masak untuk bekal suaminya. Kemudian saat anak-anaknya tertidur, Rasmini segera pergi ke kebun mencari pakan ternak.
Selama berada di kebun, perasaanya selalu was-was memikirkan anak-anak karena ditinggal sendiri. Tak jarang pula ketika sampai di rumah, anak-anaknya sudah menangis tersedu-sedu.
"Di sanalah saya merasa betapa capeknya pikiran dan tubuh menjadi seorang ibu," ucap Rasmini.
Tak hanya itu, selama berpuluh-puluh tahun Rasmini juga harus berjuang menghadapi sulitnya mendapat air bersih. Dia harus jalan berjam-jam lamanya untuk mencari air dan memenuhi kebutuhan keluarga.
"Harus siap banting tulang jadi seorang ibu. Sekarang saya baru paham bagaimana sesungguhnya menjadi seorang Ibu," ungkap Rasmini, ibu dua anak laki-laki.
Rasmini berulang menekankan betapa berbeda kehidupannya ketika masih muda.
Saat muda dulu, dia tidak perlu memikirkan apa-apa. Hanya mengikuti perkataan orang tua.
Namun sekarang setelah menjadi istri dan seorang ibu, dia merasakan betapa tidak mudahnya menjalani semua itu.
Baca juga: Kisah Ibu Tunggal di Jombang, Rela Jadi Tukang Kupas Bawang demi Pendidikan Anak
"Belum mengurus bayi, masak, mencuci, mengurus suami. Benar-benar pekerjaan yang berat. Harus kuat dan tahan banting. Terutama mental harus kuat," ucapnya.
Lanjutnya, "Ternyata banyak hal berubah saat kita menjadi seorang ibu. Belum anaknya cerewet. Pekerjaan rumah belum beres, harus ke kebun. Belum lagi ada upacara adat."
Di tengah semua tantangan dan cobaan itu, Rasmini tetap menyimpan harapan besar dan akan melakukan pekerjaan apapun demi anak-anaknya.
Lelah pikiran, batin, dan tubuh, tak lagi dia hiraukan. Semuanya demi masa depan anak-anak yang lebih baik.
"Bagaimana anak-anak saya bisa tumbuh dengan sempurna, maksudnya mereka tercukupi. Kebutuhan mereka terpenuhi dan tumbuh tanpa ada masalah. Walau memang tidak mungkin jika tidak ada masalah dalam hidup ini," jelas dia.
Dia pun menyadari, tantangan akan semakin besar ketika anak-anaknya tumbuh semakin remaja dan dewasa. Memastikan mereka aman, selamat, dan tidak terjerat dalam masalah.
"Pikiran harus jernih. Apalagi kalau sedang ada masalah dengan suami, kadang anak-anak ikut kena imbas. Tapi di situ mental harus stabil. Motivasi saya untuk anak-anak agar pendidikan mereka lebih baik," ucap Rasmini.
Baca juga: Kisah Siti Aisyah, Ibu 5 Anak Berprofesi Penambal Ban Truk di Surabaya
Dia pun menyadari bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang berjuang keras dalam menjalankan peran sebagai ibu.
Menurutnya ada banyak perempuan di Bali yang merasakan hal serupa. Karenanya sangat penting untuk saling mendukung. Begitupula dengan suami yang mau bekerja sama dalam menjalankan kehidupan rumah tangga.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang