BULELENG, KOMPAS.com – Hujan deras yang mengguyur Provinsi Bali sejak Selasa (9/9/2025) malam memicu banjir di sejumlah wilayah pada Rabu (10/9/2025).
Genangan air tidak hanya merendam permukiman warga, tetapi juga merusak infrastruktur, menutup akses jalan dan menyebabkan korban jiwa.
Di Kota Denpasar, meluapnya air sungai Tukad Badung merusak pasar dan pemukiman di sekitarnya.
Bencana banjir besar ini menarik perhatian budayawan sekaligus filolog naskah lontar, Sugi Lanus.
Ia menilai bahwa aturan tradisional yang tercantum dalam lontar mengenai tata ruang dan lingkungan semakin diabaikan.
Baca juga: Banjir Bali, Pemerintah Pusat Siapkan Dana Rp 5 Miliar untuk Penanganan Dampaknya
Sugi Lanus menjelaskan, sejumlah manuskrip kuno Bali mencatatkan larangan untuk membangun di area tertentu, seperti sempadan sungai.
Ia mencontohkan larangan membangun di teba tukad atau sempadan belakang rumah yang berbatasan langsung dengan sungai maupun jurang.
Demikian pula, telajakan atau sempadan depan rumah yang harus dibiarkan kosong.
"Secara tradisional, area ini berfungsi sebagai parit alami antara jalan dan rumah, yang bisa menjadi saluran dadakan saat hujan deras turun," ungkapnya.
Menurut Sugi, lontar bukan sekadar teks berisi mitos, melainkan rangkuman pengalaman ratusan hingga ribuan tahun leluhur Bali yang berfungsi sebagai acuan hidup.
Baca juga: Dampak Banjir Bali, Kepala BNPB Sebut 474 Unit Kios dan Ruko Rusak
"Bahasanya memang mitis, sehingga sering dianggap tahayul. Padahal, dalam banyak hal lontar menyimpan data historis, bahkan pengalaman traumatik leluhur yang bisa dijadikan pelajaran," lanjutnya.
Sugi Lanus juga menekankan bahwa banjir yang terjadi bertepatan dengan malam Pagerwesi harus dipandang sebagai pengingat untuk kembali mengarusutamakan isi lontar dalam regulasi tata ruang modern.
"Jika aturan modern telah mengatur hal serupa, penegakannya harus dilakukan dengan lebih serius," katanya.
"Kebencanaan banjir dan korban banjir di Bali hari ini adalah bukti bagaimana perarem (aturan) telajakan-teba sudah tak berlaku lagi," tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang