DENPASAR, KOMPAS.com - Kebijakan keimigrasian di Bali kini menghadapi tantangan multidimensi yang semakin rumit.
Terjadi benturan antara tuntutan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi pariwisata dan keharusan menegakkan kedaulatan negara, hukum, serta norma budaya.
Persoalan itu dikemukakan oleh Plt. Direktur Jenderal Imigrasi, Yuldi Yusman dalam Kuliah Umum di Universitas Udayana (Unud), Jimbaran, Kabupaten Badung, Selasa (2/12/2025).
Yuldi Yusman menyoroti dua kelompok orang asing yang kini menjadi fokus pengawasan.
Pertama, digital nomads (Nomaden Digital), di mana banyak pekerja daring yang masuk ke Bali dengan menggunakan visa turis.
Baca juga: Overstay Saat Kunjungi Suami Siri di Blitar, Wanita Asal Malaysia Dideportasi
Namun kenyataannya mereka menjalankan kegiatan profesional dan bahkan mengambil pasar kerja lokal, seperti pengajar yoga, hingga tour guide dadakan.
Kelompok orang asing itu sengaja menciptakan grey area, sehingga sulit dijangkau oleh penegakan hukum konvensional.
Praktik ini dinilai sebagai bentuk predatory business yang menggerus pendapatan UMKM lokal.
"Kedua, eksodus geopolitik, di mana Bali kini menjadi tujuan utama eksodus orang asing dari negara-negara konflik seperti Rusia dan Ukraina," ungkap dia.
Dia mengamini memang banyak pula yang legal. Hanya saja kenaikan tajam kedatangan ini menuntut kemampuan analisis risiko yang lebih tajam dari Imigrasi.
Khususnya terhadap isu-isu internasional, status pencari suaka, atau individu yang terkait dengan rezim politik.
Baca juga: Indonesia Masuk Daftar Negara Termurah untuk Digital Nomad
Ada pun angka kunjungan kumulatif orang asing di Bali per September 2025, telah mencapai 5.297.869 jiwa dan diproyeksikan akan menembus tujuh juta kunjungan hingga akhir tahun.
"Peningkatan signifikan ini, di satu sisi menggerakkan perekonomian lokal, namun di sisi lain melahirkan sejumlah persoalan krusial," imbuh dia.
Yuldi Yusman juga mengungkap masalah utama lainnya yang kerap terjadi, di antaranya penyalahgunaan izin tinggal, overstay, pelanggaran hukum, hingga pelanggaran adat istiadat setempat.
"Overstay kronis. Istilah ini digunakan karena denda Rp 1 juta per hari, bagi sebagian orang asing dengan penghasilan tinggi masih dirasa ringan," ujar dia.