Editor
KOMPAS.com - Ribuan umat Hindu di Balii diketahui mengikuti tradisi Ngerebong pada Minggu (20/8/2023).
Tradisi ini menjadi sebuah ritual sakral yang dilakukan di Pura Agung Petilan Pengerebongan oleh masyarakat di Desa Adat Kesiman.
Pura Agung Petilan Pengerebongan ini memang berada di Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Bali.
Baca juga: Tradisi Kebo Dongol, Warisan Budaya Tak Benda dari Kabupaten Badung
Merujuk dari asal katanya, Ngerebong sendiri merupakan bahasa Bali yang memiliki arti berkumpul. Oleh karena itu, masyarakat percaya jika para dewa sedang berkumpul pada saat tradisi Ngerebong dilaksanakan.
Ngerebong menjadi sebuah prosesi upacara yang sangat unik karena bukan merupakan upacara piodalan (peringatan hari lahir) dan tidak banyak menggunakan upakara sebagai pelengkap upacaranya.
Baca juga: Gelang Tridatu: Makna, Asal Usul, dan Penggunaannya
Pura Agung Petilan sendiri menjadi tempat prosesi ritual karena secara etimologi kata, berasal dari kata “tila” yang dalam bahasa Sansekerta berarti “benih” dengan imbuhan “pa-an”, sehingga yang mempunyai arti tempat menabur benih atau konsep-konsep yang dimiliki oleh raja atau pemimpin.
Sementara menurut hasil penelitian Sejarah Pura yang dilakukan IHD (kini UNHI) Denpasar pada tahun 1979, upacara Pengerebongan tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan.
Baca juga: Mengapa Bunga Kamboja Sangat Lekat dengan Kehidupan Masyarakat Bali?
Tradisi Ngerebong dilakukan mulai tahun 1937, tepatnya ketika I Gusti Ngurah Made Kesiman menjabat sebagai kepala Distrik Kesiman (Punggawa Kesiman) dari tahun 1927 hingga 1954.
Dikutip dari laman TribunBali.com, Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara menjelaskan sejarah Tradisi Ngerebong.
Ia mengatakan bahwa Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan masa kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat dan mengeksistensikan keberhasilan raja saat itu.
“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah senter upacara tempat upacara besar di Kesiman. Ini ritual atau pengilen dari sejarah kejayaan itu di mana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.
Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara Ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.
Selain itu, berdasarkan catatan Belanda, pada masa itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman.
Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu, hingga tahun 1937 tradisi ini kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan setelah pura ini selesai dibangun.
Baru pada 2018 Tradisi Ngerebong atau Ngerebong Kesiman telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Desa Adat Kesiman, Kota Denpasar.
Umat Hindu menari dalam kondisi kesurupan saat mengikuti Tradisi Ngerebong di Denpasar, Bali, Minggu (20/8/2023). Tradisi yang dilakukan setiap enam bulan sekali tersebut dilakukan untuk menyucikan alam dan menetralisir kekuatan negatif. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nzDilansir dari laman Desa Kesiman, Tradisi Ngerebong dilaksanakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali.
Jatuhnya waktu pelaksanaan Pelaksanaan Tradisi Ngerebong yaitu setiap delapan hari setelah Hari Raya Kuningan atau tepatnya pada Redite Pon Medangsia.
Diketahui terdapat beberapa rangkaian yang wajib dilaksanakan sehubungan dengan Tradisi Ngerebong, yaitu Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, dilanjutkan dengan Pamendakan Agung pada Paing Kuningan, dan terakhir adalah Ngerebong.
Dilansir dari laman Kemendikbud, pelaksanaan Tradisi Ngerebong terdiri dari dua prosesi, yaitu pelaksanaan prosesi Pengider Bhuana I yang menggunakan simbol Barong, Rangda, dan penari keris.
Dalam prosesi ini diselenggarakan tabuh rah dalam berperang sata (sabung ayam) sebanyak tiga kali.
Selanjutnya dalam prosesi Pengider Bhuana II yang khusus dilakukan oleh para pemangku dengan menggunakan lambang Cakra dan Sabuk Poleng yang panjangnya sekitar 8 meter.
Kedua rangkaian prosesi dilakukan mengelilingi Bale Wantilan sebagai wujud Bhuwana Agung ke arah kiri dengan makna pembersihan keletehan (cemer) yang mengancam keselamatan umat manusia, khususnya masyarakat Desa Kesiman.
Tradisi Ngerebong bertujuan untuk menyeimbangkan dua kekuatan yang bersifat bertentangan (rwa bhineda) yang terdapat di alam semesta, khususnya di Desa Pakraman Kesiman.
Tradisi Ngerebong juga memiliki beberapa fungsi serta makna yang dipercaya oleh masyarakat.
Adapun fungsi Upacara Ngerebong antara lain untuk menghubungkan diri serta tanda ucapan terima kasih kepada Tuhan Hyang Maha Esa dan roh suci leluhur, sebagai sarana penyucian mikrokosmos dan makrokosmos, dan sebagai sarana integrasi sosial bermasyarakat.
Sementara Upacara Ngerebong juga memiliki beberapa makna, antara lain makna religi, makna kesetiakawanan dan kebersamaan, serta makna keseimbangan atau keharmonisan.
Makna religi yang dapat dilihat pada masyarakat Desa Pakraman Kesiman dalam melaksanakan Upacara Ngerebong.
Makna kesetiakawanan dan kebersamaan yang dapat dilihat dalam pelaksanaan upacara.
Makna keseimbangan atau keharmonisan adalah untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesama umat manusia, dan antara manusia dengan alam lingkungannya (Tri Hita Karana).
Sumber:
warisanbudaya.kemdikbud.go.id
kesimanpetilan.denpasarkota.go.id
bali.tribunnews.com