Editor
DENPASAR, KOMPAS.com – Gubernur Bali, Wayan Koster menyebut alasan banjir bandang di bali bukan merupakan akibat dari alih fungsi lahan namun karena ada hal lain.
Untuk evaluasi banjir ke depannya, Koster mengatakan akan menelusuri sungai-sungai besar dari hulu ke hilir.
Pengamat isu perkotaan sekaligus Akademisi Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa, Gede Maha Putra menjelaskan penyebab banjir di Bali lebih kompleks.
Lebih lanjut ia mengatakan permasalahannya justru pada antisipasi terhadap fenomena tahunan ini.
"Ketidakmampuan membaca potensi bencana dari fenomena ini dan menyiapkan antisipasinya lah yang menjadi persoalan saat ini," ujar Maha, Jumat (12/9/2025).
Baca juga: BPBD Bali Ralat Jumlah Korban Meninggal akibat Banjir, Totalnya 17 Orang
Ia menambahkan persoalan kedua masih terkait alam, adalah terbangunnya lokasi-lokasi yang rentan terhadap bencana termasuk daerah aliran sungai, daerah Lembah yang menampung air dan areal bekas sawah yang juga telah menjadi areal terbangun.
Areal-areal semacam itu merupakan daerah resapan air.
Secara tradisional, daerah-daerah tersebut bukan merupakan lokasi permukiman ideal sehingga di masa lalu tidak dijadikan sebagai lokasi permukiman tradisional.
Permukiman di masa lalu umumnya dibangun di daerah yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya.
Permukiman ini juga masih diatur lagi dengan larangan-larangan.
Antara lain larangan membangun di tepian sungai, larangan memanfaatkan kayu dari pohon yang tumbuh di dekat mata air, larangan menggunakan kayu yang tumbuh di tepi sungai termasuk yang tumbuh di batas desa.
“Ini bisa mengakibatkan distorsi akibat kesalahan membaca potensi bahaya. Pemanfaatan lahan selalu bersifat politis," kata dia.
Baca juga: Bali Dilanda Banjir, Penerbangan Surabaya-Denpasar Terpantau Normal
"Pengaturan penggunaannya dilandasi oleh keputusan yang dibuat melalui proses legislasi. Pemanfaatannya juga melalui proses perijinan yang juga merupakan proses politik,” sambungnya.
Kepentingan politik saat perencanaan pemanfaatan lahan bisa mengubah lahan yang tadinya merupakan kawasan konservasi menjadi kawasan permukiman, warna kuning, atau menjadi kawasan pariwisata, warna pink.
Agenda-agenda perubahan fungsi lahan sejak di masa perencanaan ini sudah menjadi rahasia umum namun sulit dibuktikan.