DENPASAR, KOMPAS.com – Banyaknya Warga Negara Asing (WNA) yang melakukan investasi di sektor properti, terutama di kawasan pariwisata di Bali, diduga membuat harga tanah menjadi semakin mahal dan terus meroket.
Warga Bali, khususnya anak muda pun kian cemas dengan masa depan mereka.
Berdasarkan data terkini dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali yang diolah dari laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Bali, tercatat bahwa investasi di Bali didominasi oleh perumahan dan perkantoran, serta perhotelan dan restoran.
Warga Rusia adalah investor utama, disusul warga Singapura dan Australia. Sebanyak 56 persen warga Rusia berinvestasi dalam sektor perumahan dan perkantoran. Sementara 15 persen adalah investor di bidang perhotelan dan restoran.
Baca juga: Anggota DPRD Bali Minta Gubernur Tegas Sikapi Tembok GWK
Sri Virdayanti (22), mahasiswi asal Kabupaten Badung, merasa khawatir dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Menurutnya, harga tanah di Bali kini semakin tidak masuk akal, terlebih di daerah pariwisata seperti Canggu dan di Kota Denpasar.
“Memang gila-gilaan harganya. Secara jujur kondisi di lapangan, sebagai anak muda Bali, rasanya pahit banget. Realitanya kejam banget. Gaji kita UMR ini, yang hanya Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Sementara untuk daerah Kabupaten Badung, khususnya Canggu, itu harga tanahnya bisa belasan juta per meter. Jadi punya tanah 1 are saja perlu uang ratusan juta sampai miliaran,” ungkap Virda, Jumat (17/10/2025).
Baca juga: Pemilik Bar di Bali Dibunuh Suami Siri yang Merupakan Mantan Karyawannya
Bagi Virda, dengan gaji yang sangat pas-pasan, apabila mencicil pun, tanah di Bali sulit untuk terbeli nantinya. Terlebih, penghasilannya juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu keluarga.
“Dengan gaji yang sekarang, dicicil pun, kapan akan selesai nyicilnya? Gaji Rp 2,5 juta. Beli tanah misalnya nyicil sampai 20 tahun. Sementara untuk kebutuhan satu bulan saja masih ngos-ngosan. Jadi kapan kekejarnya? Sampai nikah pun mungkin enggak terkejar ya? Walaupun sudah menghemat biaya makan dari Rp 20.000 menjadi Rp 5.000,” jelasnya.
Menyiasati kondisi ini, akhirnya anak-anak muda lebih memilih untuk ngekos atau mengontrak rumah. Virda yang sempat magang di Jakarta menilai kini harga kos di Bali juga cukup mahal, bahkan hampir menyerupai biaya di Jakarta.
“Di Jimbaran sekarang Rp 1 juta yang kosongan dan Rp 1,7 juta yang sudah isi kasur dan AC. Lalu di Jakarta saat itu saya dapat Rp 1,8 juta yang isi kasur dan AC. Jadinya kan harga Bali dan Jakarta sudah hampir sama ya,” katanya.
Virda merasa lambat laun, warga Bali hanya akan menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri. Sementara para investor atau WNA yang memiliki uang, bisa dengan mudah memiliki tanah di Bali.
“Nanti pas kita sudah punya uang, kebagian enggak ya tanah, atau sudah dihabisin sama investor? Kan sudah ada rasa minder sebelum mulai. Mungkin akan berbeda kalau punya privilege ya, sudah punya warisan,” kata Virda.
Kegelisahan yang sama juga dirasakan I Komang Doni Kurniawan (24), anak muda asal Kabupaten Jembrana. Menurut Doni yang kini bekerja sebagai karyawan swasta, membeli tanah di Bali bagaikan katak merindukan rembulan.
“Kelas menengah seperti saya sangat susah. Sangat terseok-seok untuk punya tabungan yang cukup. Jika mengandalkan gaji saja, dengan upah minimum yang masih kecil, itu sudah pasti sangat mustahil untuk kebeli. Tanah di Bali meningkatnya lumayan drastis, sangat cepat jadi Rp 800 juta per are,” ujar Doni yang selama ini juga aktif berkecimpung dalam isu-isu sosial di Bali.
"Harga tanah cepat naik, tapi kenaikan upah tidak mengikuti. Itu bagaimana logikanya? Bagaimana hitungan matematikanya?” katanya.
Menurutnya, kenaikan harga ini sangat dipengaruhi oleh pesatnya pembangunan hotel maupun vila di daerah pariwisata. Begitu pula dengan banyaknya kepemilikan lahan oleh orang asing.
“Tapi pada faktanya di lapangan, banyak sekali tanah kita dibeli oleh orang asing. Seperti sudah jadi rahasia umum. Namanya saja (dalam sertifikat) orang Bali, tapi pemilik tanahnya dari orang asing,” ungkap Doni.
Dengan kenyataan ini, dia sangat berharap pemerintah segera melakukan tindakan dan memberikan solusi yang nyata. Apabila kondisi ini dibiarkan berlarut, maka ketimpangan akan terus terjadi.
“Mereka (WNA) kan lebih gampang. Mata uangnya lebih tinggi, sumber pendapatan lebih besar. Sementara kami harus berlawanan dengan mereka untuk membeli tanah. Jelas tidak fair ini. Mereka bisa bekerja satu hari saja setara dengan penghasilan kita satu bulan atau bahkan lebih. Dari sana sudah ada ketimpangan. Pemerintah harus hadir untuk memberikan keadilan,” tegasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang