DENPASAR, KOMPAS.com - Masyarakat Bali tidak hanya dikejutkan dengan adanya proyek lift kaca di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Di dekat kawasan Pantai Kelingking, ternyata juga ada kavling yang lokasinya justru di pinggir jurang.
Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, I Made Supartha menyebut bahwa proyek itu sudah disegel. Sampai hari ini, Kamis (4/12/2025), status proyek itu juga masih disegel.
Dia menjelaskan bahwa belasan kavling di pinggir jurang itu juga telah mengalami retakan serius. Selama melakukan inspeksi mendadak (sidak), Supartha menemukan sejumlah pelanggaran serius, khususnya terhadap ketentuan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang dan Perlindungan Lingkungan.
Baca juga: Lift Kaca di Nusa Penida, Ahli Tata: Pemerintah Harus Tutup Celah-celah Pelanggaran Perizinan
"Sedikitnya 13 unit kavling yang sudah terjual kepada masyarakat berada di area berisiko tinggi longsor. Berdasarkan hasil tinjauan lapangan, tanah di beberapa titik terlihat ambles dan retak memanjang di tepi jurang sedalam belasan meter," ungkap dia.
Dia kembali menegaskan bahwa kavling itu merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan tata ruang dan keselamatan lingkungan.
“Selain melanggar larangan membangun di bibir jurang, proyek ini juga menyalahi ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,” tegasnya.
Baca juga: Tuduh Selingkuh dan Aniaya Pasutri, Pria di Nusa Penida Ditahan
Tak hanya itu, proses perizinan kavling tersebut juga diduga terindikasi cacat administrasi dan tidak melalui kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai.
Atas adanya kavling di pinggir jurang itu, Pemerintah Provinsi Bali diminta membekukan izin pengembang.
Sebelumnya, pada Selasa (2/12/2025), Pansus juga menemukan ada 13 bangunan di Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, yang melanggar aturan. Bangunan tersebut dinilai dapat merusak keaslian kawasan tersebut. Padahal kawasan ini merupakan bagian dari situs warisan dunia UNESCO.
Pelanggaran yang teridentifikasi di antaranya telah terjadi perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai, pembangunan yang tidak memiliki izin, serta praktik-parktik yang mengganggu ekosistem lokal.
Supartha memastikan kawasan wisata Jatiluwih tetap terjaga dan tidak terganggu oleh aktivitas yang merusak lingkungan dan budaya setempat.
“Temuan ini sangat mengejutkan. Kami menemukan ada 13 pelanggaran yang berpotensi merusak kawasan Jatiluwih. Sebagai kawasan yang diakui dunia, sudah seharusnya Jatiluwih dilindungi dari segala bentuk kegiatan yang dapat mengancam kelestariannya," jelas Supartha.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang