Sehingga mereka akan membuat suguhan khusus yang ditujukkan kepada leluhur yang “menyinggahi” mereka di rumahnya masing-masing.
Upacara Galungan dimulai dari melakukan persembahyangan di rumah masing-masing hingga ke Pura yang ada di lingkungannya.
Bagi umat Hindu yang memiliki anggota keluarga yang masih berstatus Makingsan di Pertiwi (mapendem/dikubur), maka mereka wajib membawakan banten ke kuburan yang dikenal dengan Mamunjung ka Setra Kuburan.
Umanis Galungan jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan.
Pada umanis Galungan, umat Hindu akan melaksanakan persembahyangan, yang dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara.
Anak-anak juga akan melakukan tradisi Ngelawang dengan menarikan barong disertai gambelan dari pintu rumah penduduk satu ke yang lainnya.
Kemudian penduduk yang mempunyai rumah tersebut akan keluar sambil membawa canang dan sesari/uang.
Tarian barong ini dipercaya masyarakat setempat dapat mengusir aura negatif dan mendatangkan aura positif.
Pemaridan Guru jatuh pada hari Sabtu Pon wuku Galungan.
Pemaridan Guru berasal dari kata Marid atau Memarid yang artinya ngelungsur/nyurud (memohon) dan Guru adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Ulihan jatuh pada hari Minggu Wage wuku Kuningan.
Kata Ulihan artinya pulang atau kembali yang bermakna hari kembalinya para dewata-dewati dan leluhur ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugerah panjang umur.
Hari Pemacekan Agung jatuh pada hari Senin Kliwon wuku Kuningan.
Pemacekan berasal dari kata pacek yang artinya tekek atau tegar, dalam bahasa Bali.
Makna Pemacekan Agung adalah sebagai simbol keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari Galungan.