Ida Dewa Agung Jambe I kemudian naik tahta sebagai raja Kerajaan Klungkung dan berkuasa sejak 1686 hingga 1722.
Kerajaan Klungkung kemudian mengalami pasang surut, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda masuk ke wilayah Bali.
Dengan perlahan, pemerintah kolonial Belanda melakukan taktik yang semakin mengurangi kedaulatan Kerajaan Klungkung.
Kemunduran Kerajaan Klungkung semakin jelas setelah terjadinya Perang Kusamba pada 25 Mei 1849, yang mendatangkan kerugian besar bagi kedua belah pihak.
Dewa Agung Putra II saat itu dibujuk untuk menandatangani perjanjian damai dan mengakhiri perang, yang semakin merugikan posisi kerajaan
Hingga Dewa Agung Putra III (1851-1903) naik takhta menggantikan sang ayah Dewa Agung Putra II yang telah wafat.
Sosok Dewa Agung Putra III berambisi membangkitkan kembali kekuasaan leluhurnya dulu dengan melakukan penaklukan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial.
Sayangnya, sebelum ambisi tersebut terpenuhi, Dewa Agung Putra III justru lebih dulu meninggal pada 1903.
Setelah itu takhta kerajaan jatuh ke tangan putranya yang bergelar Dewa Agung Jambe II (1903-1908) dikenal lunak dan lebih memilih menghindarkan diri dari konfrontasi dengan Belanda.
Namun hal tersebut berubah pasca Puputan Badung pada 1906, di mana Belanda menghendaki raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II agar menandatangani perjanjian baru.
Perjanjian baru yang ditandatangani membuat kerusuhan merebak di Klungkung, hingga mengundang invasi militer Belanda.
Akhirnya, terjadilah Puputan Klungkung pada 28 April 1908, yang menewaskan sang raja beserta para pengikutnya.
Dilansir dari Kompas.com, pecahnya Puputan Klungkung disebabkan oleh patroli yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di wilayah kerajaan sejak pertengahan April 1908.
Hal tersebut dianggap telah melanggar kedaulatan kerajaan, yang membuat marah segenap warga dan para pembesar Kerajaan Klungkung.
Tak pelak terjadilah penyerangan terhadap pasukan patroli Belanda yang membuat 10 serdadu kolonial mati, termasuk pemimpinnya yang bernama Letnan Haremaker.