DENPASAR, KOMPAS.com - Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Indra menyatakan kesiapsiagaan harus dilakukan secara menyeluruh dalam menghadapi bencana alam.
Bencana hidrometeorologi di Bali terus meningkat frekuensinya dari tahun ke tahun. Dampaknya pun semakin besar terhadap keselamatan, sosial ekonomi, dan infrastruktur masyarakat.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kabupaten/kota di Bali, sepanjang Januari hingga akhir Oktober 2025, tercatat sedikitnya ada 50 kejadian bencana.
Paling banyak terjadi cuaca ekstrem dan banjir, yang mengakibatkan 41 korban meninggal, 18 luka-luka, dan 812 warga mengungsi atau terdampak.
Baca juga: WNA Asal Perancis dan Amerika Ditangkap karena Edarkan Narkotika di Bali
Selain itu, bencana menyebabkan 1.463 bangunan, 129 jaringan jalan dan jembatan rusak.
Luas lahan yang terbakar sekitar 76 hektare, dengan estimasi kerugian mencapai sekitar Rp145,4 miliar.
Data tersebut dihimpun melalui Sistem Informasi Kebencanaan.
Bencana yang terjadi sepanjang 2025 lebih banyak dibandingkan dengan periode 2024.
Dari Januari hingga akhir Desember 2024, tercatat 41 kejadian bencana.
Menyebabkan 33 korban meninggal, 21 luka-luka, kerusakan 391 bangunan dan 1 jaringan jalan serta jembatan.
Namun saat tahun 2024, luas lahan yang terbakar jauh lebih banyak, yakni sampai 295,33 hektare.
Informasi tersebut disampaikan saat BPBD Provinsi Bali menggelar Apel Siaga Bencana Hidrometeorologi 2025–2026 di Denpasar, pada Selasa (2/12/2025).
Baca juga: Koster Ajukan Raperda Baru untuk Selamatkan Lahan Produktif di Bali
Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Indra menyatakan kesiapsiagaan harus dilakukan secara menyeluruh, terutama terkait kesiapan personel dan peralatan, jalur komunikasi, dan tempat evakuasi.
"Respons cepat ketika muncul tanda-tanda awal bencana," jelas dia. Apel siaga itu diharapkan menjadi momentum evaluasi terhadap kejadian bencana di Bali.
Curah hujan diprediksi terus meningkat dengan puncak musim hujan terjadi pada Januari dan Februari 2026.