Sementara itu, Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Warkadea menilai, gagalnya pembangunan bandara di atas lahan milik Desa Adat Kubutambahan, terjadi bukan karena adanya mafia tanah.
Melainkan karena belum adanya titik temu dari mediasi yang dilakukan pemerintah dengan pihak PT PP.
Dengan adanya rencana pembangunan bandara Bali Utara, pihaknya tidak ingin lahan duwen pura berubah status menjadi milik pemerintah.
Pihaknya telah melaksanakan rapat desa yang dihadiri oleh Tim Ahli Gubernur Bali dan Wakil Bupati beberapa waktu lalu.
Dalam rapat itu, pemerintah desa sepakat menyerahkan pemanfaatan lahan, agar digunakan sebagai lokasi pembangunan bandara.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Buleleng Melonjak, RTH dan Fasum Ditutup Sementara
Pihaknya juga menyerahkan kuasa kepada Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng untuk memediasi pihak PT PP, mengingat lahan tersebut sudah terlanjur disewakan.
Jika terjadi gugatan, maka Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng harus memfasilitasi dan memberikan dukungan kepada Desa Adat Kubutambahan.
Dalam perjalanan, rencana pembangunan bandara kemudian dinyatakan masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN). Dalam PSN itu, ada dua opsi yang diberikan, pertama lahan desa adat akan diganti dengan uang senilai Rp 50 miliar, dan yang kedua diganti dengan tanah yang lain (tukar guling).
Menurutnya, dengan dua opsi tersebut dinilai jika lahan duwen pura akan berubah status menjadi tanah negara.
"Kami menolak, karena statusnya dilepas jadi tanah negara," tegasnya.
"Karena kami berpendapat merubah status tanah duwen pura itu sebagai kutukan. Kami harus mempertanggung jawabkan lahan duwen pura (desa adat). Kalau berubah status, nilai sejarah akan hilang. Dari pada hilang, lebih baik tidak ada bandara," imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.