Menurut Febriani, tidak ada peringatan bahaya atau panduan keselamatan dari awak kapal. "Kami semua menyelamatkan diri sendiri, ambil pelampung sendiri," katanya.
Baca juga: Pencarian Korban Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya Dihentikan Sementara
Ia melihat lampu dan mesin kapal sudah dalam kondisi mati atau blackout.
Dalam kekacauan itu, Febriani meminta istrinya yang tidak bisa berenang untuk memeluk erat tubuhnya.
Keduanya lalu memutuskan untuk melompat ke laut sebelum kapal tenggelam.
Namun, gelombang besar yang tercipta setelah kapal terbalik dan tenggelam memisahkan mereka. "Pada saat itulah pelukan istri saya terlepas," ucap Febriani lirih.
Setelah berhasil berenang ke permukaan, ia segera berusaha mencari sang istri.
Ia berteriak memanggil nama sang istri sambil menyisir lautan yang gelap.
Namun, tidak ada jawaban. Hatinya diliputi perasaan putus asa.
Dalam keadaan lemas, ia diselamatkan oleh penumpang lain dan ditarik naik ke perahu karet bersama 11 orang selamat lainnya.
"Saya akhirnya dibantu orang-orang naik ke kapal karet. Saat itu masih coba memanggil istri saya. Tapi tetap tidak ada jawaban," katanya.
Febriani dan belasan penumpang lain terombang-ambing di laut hingga fajar menyingsing.
Sekitar pukul 07.00 Wita, sebuah kapal nelayan melintas dan langsung memberi pertolongan.
Karena kapasitasnya terbatas, nelayan itu hanya mampu mengangkut separuh penumpang, dan sisanya dijemput kemudian.
Setibanya di darat, Febriani langsung dibawa ke Posko Pelabuhan Gilimanuk sekitar pukul 09.30 Wita.
Di sana, ia mendapat kabar yang membuatnya sedih. Istrinya, Cahyani, ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.
Baca juga: 6 Jenazah Korban Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya Dipulangkan ke Jawa Timur